Lomba Cerpen Sosial 2011 | ||
Tanggal
20 Desember adalah Hari Sosial, atau dulu telah kita kenal sebagai Hari
Kesetiakawanan dan Kepedulian Sosial Nasional. Bahwa pada Hari Sosial
tersebut, kita akan berkumpul bersama untuk membicarakan dan membahas
kegiatan dalam rangka memperingati Hari Sosial yang mengingatkan kita
bahwa manusia hidup di masyarakat mempunyai hak dan kewajiban sosial.
Sesuai dengan kodratnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat
hidup sendiri, terpisah satu sama lain, tetapi memerlukan kawan untuk
berusaha mengurangi beban dalam kesukaran. Dalam kehidupan ini masih
banyak masalah sosial yang memerlukan perhatian kita, misalnya kenakalan
remaja, narkotika, anak yatim piatu, kepedulian terhadap lingkungan
sekitar. Hal-hal tersebut, selain menjadi tugas negara, juga merupakan
kewajiban kita semua sebagai makhluk sosial untuk ikut menaggulanginya. Melalui kesemptan ini kami ingin mengetuk hati Bapak, Ibu, Saudara/i agar Hari Sosial ini dijadikan titik tolak keikutsertaan yang mampu dilakukan, dalam rangka upaya membantu tugas-tugas sosial yang seharusnya kita lestarikan bersama. Kegiatan yang kami adakan adalah memfokuskan kepada pemuda penerus bangsa (Pelajar dan Mahasiswa) berpartisipasi dalam menulis Cerita Pendek (Cerpen) dengan Tema “SOSIAL”, Syarat dan ketentuannya sebagai berikut: 1. Peserta Asli Berwarga Negara Indonesia. 2. Peserta merupakan pelajar atau mahasiswa (9 tahun s/d 23 tahun) 3. Kompetisi Cerita Pendek Sosial ini bersifat perorangan (Individu). 4. Tiap Cerita Pendek (Cerpen) yang diikutsertakan dalam kompetisi ini wajib mengandung unsur sosialisasi warga negara dan dapat memicu masyarakat umum dalam peningkatan hak dan kewajiban sosial. 5. Tema “SOSIAL” (bersifat bebas dan tidak mengikat) 6. Karya Cerpen yang dilombakan belum pernah diterbitkan dalam bentuk buku, dan dipublikasikan lewat media cetak atau elektronik, serta tidak sedang diikutkan dalam kompetisi, lomba atau kegiatan serupa lainnya. 7. Karya Cerpen yang diikutsertakan bukan saduran, terjemahan, plagiat atau pun murni menjiplak, baik sebagian maupun keseluruhan, dari naskah yang telah ada sebelumnya. 8. Tiap peserta diperbolehkan mengirimkan lebih dari satu karya dengan melampirkan data diri scan/fotokopi kartu identitas yang masih berlaku (SIM/KTP/Kartu Mahasiswa/Kartu Pelajar/Pasport, dll). 9. Peserta melampirkan Biodata singkat yang dilengkapi dengan Namor Telepon/HP dan alamat email aktif. 10. Cerpen wajib dikirim dengan format kertas A4, Margin Normal, font Arial 12 pt, spasi 1,5. Dan dikirim ke email : cerpen@inorbit.com. 11. Peserta melakukan registrasi/pendaftaran Rp. 10.000,- setiap judul karya dan melampirkan struk transfer registrasi (di foto/scan). Nomor Rekening Pendaftaran Bank BNI: 015 473 1105 Atas Nama : Aufa Imiliyana. 12. Naskah diterima panitia terakhir tanggal 20 Desember 2011. 13. Dewan Juri menetapkan 3 Pemenang, dan 7 Nominator terbaik yang akan dibukukan, serta menjadi cerita pokok dalam kompetisi hari sosial tahun 2011. • Juara 1 – Rp. 3.000.000.00,- Sertifikat, Souvenir, Buku Terbitan Kompetisi. • Juara 2 – Rp. 2.000.000.00,- Sertifikat, Souvenir, Buku Terbitan Kompetisi. • Juara 3 – Rp. 1.000.000.00,- Sertifikat, Souvenir, Buku Terbitan Kompetisi. • 7 Nominator terbaik - Sertifikat, Souvenir, Buku Terbitan Kompetisi. 14. Keputusan Dewan Juri bersifat Mutlak dan tidak dapat di ganggu gugat. “10 Pendaftar Pertama Mendapatkan e-book 10 Kumpulan Cerita Islami” Dewan Juri: 1. Budi Cahyono. 2. Hj. Siti Khotijah. 3. R. Suparman. Info: www.porseni.com | ||
COPAS FROM: http://indonesiaartnews.or.id/opportunitiesdetil.php?id=459 |
Bismillahirahmanirrahim
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Jumat, 25 November 2011
INFO LOMBA DESEMBER 2011
Rabu, 21 September 2011
HOT NEWS!!!
Angin Kerinduan (Telah Terbit!)
Judul Buku: Angin Kerinduan
Terbit: Oktober 2011
Penerbit: LeutikaPrio (www.leutikaprio.com)
Penulis: Ria Ristiana Dewi
Jenis Buku: Kumpulan Puisi
Tebal: 130 Halaman
Harga Buku: Rp. 32.100;
Seperti apa
rindumu berjalan di atas air pagi ini
Bersama tanah yang kerap kau pijak setelahnya….
rindumu berjalan di atas air pagi ini
Bersama tanah yang kerap kau pijak setelahnya….
...
Seperti apa
Jika tiba-tiba saja keributan terjadi
Di ruang-ruang yang kau kira ributnya angin
Membawa butiran-butiran rindumu
Sampai kepadanya....
Seperti apa
Jika tiba-tiba saja keributan terjadi
Di ruang-ruang yang kau kira ributnya angin
Membawa butiran-butiran rindumu
Sampai kepadanya....
....
Dariku, dalam setiapnya, perjalanan hidup tak pernah mudah. Aku pernah
ditawar oleh dunia untuk menghancurkan diriku sendiri, tapi sesungguhnya
saat itu aku sedang ditawar untuk menjadi orang yang paling kuat.
Itulah yang kuhargai dari hidupku dan aku nilai ia dalam setiap tinta
yang keluar di dalam buku ini. Nilainya adalah bait-bait perjuangan
sebuah kehidupan, sebuah napas, dengan sebuah rasa yang datang dan
berlalu....
Jumat, 26 Agustus 2011
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Belakangan ini Bulan itu terus saja berbicara padaku. Terkadang saat aku berjalan pulang sehabis kerja seharian ataupun saat aku tak sengaja memilih berjalan-jalan bersama istriku bahkan sewaktu aku duduk dengan teh hangat di halaman rumah. Bulan itu memanggil-manggil namaku, meminta agar aku menemaninya.
”Satu malam saja,” katanya kepadaku turut merayu. Kala itu aku sedang malas berbicara pada langit. Aku hendak bergegas masuk, namun ia merintih dan sempat meneteskan air mata. Aku tak tega, maka kutemani ia satu malam ini. Bulan yang cantik, dagunya runcing, matanya berkedip-kedip, dan senyumnya memukau membuat aku tak mampu berpaling. Agar aku tak turut dibuai malam, kuputuskan meminum secangkir kopi. Kutemani ia berbicara dan ya... memang sudah kuduga sebelumnya, ia akan mengobrol panjang lebar sementara aku mulai tak kukuh dengan suaranya yang merayu.
”Kumohon beri aku kesempatan,” katanya memulai itu dan itu lagi. Dan aku mulai berpura-pura menguap. Aku anggap ia tak pernah mengatakan apapun padaku.
”Jangan begitu! Aku tahu kau masih begitu sayang padaku,” katanya sembari sedikit meninggikan suara. Mendengarnya aku mulai semakin gerah dan kuputuskan mengucapkan selamat malam.
”Aku tak mau. Tetaplah mendengarkanku. Tetaplah di situ,” katanya lagi dan lagi. Ah... aku mulai muak dengan singkat kukatakan, ”Cari Bintang yang lain!”
Lalu aku masuk ke dalam rumah. Istriku sudah menunggu dengan senyum khas membuat raut wajahnya bertambah manis. Langsung kudekap, tak kulepas.
***
Aku tak bisa menyangkal, suara-suara di gerimis senja menimang-nimang penantianku pada malam. Aku merindukan Bulan. Kali ini aku yang mengaku ingin melihatnya walau hanya satu malam. Mendengar suaranya yang manja di antara desir angin malam dan menyambangi kepiluanku. Barangkali sedikit aku merasa bangga atasnya. Ia terlalu mengagumiku, padahal sudah selayaknya ia dikagumi sebagaimana dagunya yang runcing ataupun matanya yang menyala-nyala memukau setiap yang memandang.
Kali ini aku berdiri di halaman rumahku yang diapit pagar tanaman tinggi dan lebat. Di bawah langit dengan bintang terserak cerah dan seunggu bunga anggrek. Kira-kira sepuluh meter luas rumput halaman ini ditanami juga dengan beraneka bunga. Yang di ujungnya, tepat dibalik tembok adalah kolam ikan koi. Setiap malam suara gemericik airnya menemaniku sendiri menunggu datangnya Bulan.
”Bulan! Oh... Bulan,” kataku memanggil-manggil Bulan. Tapi, tak ada jawaban. Justru suara jangkrik yang semakin lantang dan sesekali lompatan ikan koi membuatku bergidik lantas kembali kuseruput secangkir kopi buatan istriku. Dekat dengan bunga kesayangan istriku. Di situlah belalang hijau bertahta. Di atas setangkainya berdiri tiga kuntum bunga cempaka. Bersembunyi malu-malu dalam semak daun. Kelopak memanjang-manjang pipih berwarna putih disertai putik berbentuk cengkeh. Lantas kupetik sekuntum dan mencium harumnya.
”Aku tahu Bulan, kau begitu menyukai bunga ini,” kataku lagi dan lagi-lagi masih bersembunyi dengan malam yang menyendiri. Sementara tatapanku kemudian tak lepas dari langit. Ah... sebentar lagi aku menyakini Bulan akan hadir. Tak dapat disangkal lagi kalau Bulan menyukai cempaka dan aku yakin ia akan datang tidak hanya karenaku, namun juga karena cempaka yang sedang aku genggam. Ia adalah malamku, berkeliaran dalam mimpi-mimpiku, menjadi putri dalam dunia khayanganku.
Di malam yang berjalan dengan mendogma ribuan pujaan kepada langit, memang tak lama setelahnya cahaya berduyun-duyun. Bulan menampakkan wajahnya, ruang sekelilingku cerah dan rupanya bagaikan sorotan lampu merah. Sejenak ia memberhenti lamunanku. Merah...
Aku mendongak ke arahnya. Warnanya memang sudah tak biasa. Sebelumnya lebih lembut dari ini, namun kali ini lebih merah dan sesekali ada kilatan yang menyambar.
”Oh... Bulan! Kau kenapa?”
Ia tak menjawab. Lantas tak lama kemudian kilatan itu menyambar bunga cempaka yang masih ditangkai. Tepat di sebelah aku duduk dengan wajah lugu terperangah. Bunga itu terbakar amarah.
”Awas kau...” katanya sungguh marah.
Aku langsung masuk ke dalam rumah. Namun ia menyambarku lagi dan ah... kalau aku kehilangan sedetik saja, mungkin lenyaplah. Sebagai korbannya bunga jarum yang manis berdiri di seberang teras hangus sudah.
”Itu bunga kesayangan istriku,” kataku padanya dengan melotot. Namun, sekali lagi ia akan menyambarku. Merahnya semakin menyala. Maka aku terus berlari ke dalam rumah.
Aman. Aku merasa dia pasti sudah pergi. Cahayanya juga mulai redup. Lantas dari dalam jendela rumah, aku menatap keluar sana. Halamanku yang sudah tidak seperti beberapa menit yang lalu. Kini cempaka itu sudah tak dapat dikenali, rumput jepang yang tertata hasil kerja keras tukang kebun kami juga terbakar, hanya tinggal tanah yang merana berwarna hitam. Sementara heuforbia kesayangan ibu mertuaku yang terletak tak jauh dari cempaka juga terbelah dua dan warna bunganya telah koyak dua hitam, begitu lekat. Air di kolam sebelah pagar juga seluruhnya naik berikut isi-isinya. Terlihatlah koi-koi melompat-lompat tak berdaya.
Setelah aku merasa tidak ada lagi tanda ia akan muncul, aku mencoba keluar. Mana tahu aku bisa mengamankan ikan-ikan yang melompat terus di halaman. Aku melangkah dengan pasti, pelan, begitu pelan. Sampai juga aku di teras dan aku mendongak lagi ke atas.
Hening....
”Aman,” kataku menyakinkan diri sendiri.
Aku merasa akan bisa menyelamatkan ikan-ikan itu, tapi itu sebelum aku menengadahkan kembali ke atas langit dan melihat Bulan di situ dengan senyumnya. Siap menyerang kembali.
Duarrrr....
Ops! Selangkah lagi kena. Kali ini yang menjadi korban adalah pohon antik berbentuk tubuh istriku. Hasil tempahan istriku pada penjual bunga terkenal. Sontak saja aku kembali masuk ke dalam rumah. Namun tiba-tiba saja...
Duarrr....
Tidak, ini tidak mungkin! Rumahku terbakar. Tanpa memperhitungkan harta benda lagi aku lekas keluar rumah dengan cemas yang menjadi-jadi. Kulewati saja ikan-ikan yang tadinya akan kuselamatkan. Tanganku mengayun bersiap memompa tubuh agar lekas aku sampai. Entah... akupun tak tahu mau sampai mana. Tapi aku harus terus berlari. Sembari berlari aku terus tak percaya. Akankah ini Bulan yang kukenal?
Ia masih murka. Lalu sekejap menyambarku lagi. Pohon beringin sepanjang jalan yang kulalui menjadi korban selanjutnya. Dahan-dahannya terbelah dan satu persatu rantingnya juga berguguran, berjatuhan dan tampak terserak. Ada bekas bakaran kecil mencederai daun-daunnya. Aku merasa efek terbakarnya tidak terlalu fatal. Rumahku yang berada dekat taman depan kompleks perumahan membuat aku berlari ke arah pohon besar, namun lekas saja terbakar. Di jalan, aku terus berkoak meminta pertolongan, namun entahlah, tak ada satu orangpun di sepanjang jalan. Aku melongok ke salah satu rumah yang berada tak jauh dari tempat kuberdiri dan berlari ke arahnya. Napasku terasa menyangkut di tenggorokan. Pada kaca jendela rumah itu aku sempat memperhatikan wajah kering yang merana. Oh... itukah wajahku?
Lalu aku ketuk pintunya. Aku engkol-engkol pegangan pintunya, tak bisa dibuka dan masih belum ada jawaban dari dalam. Aku melihat Bulan perlahan terus mencari-cari keberadaanku. Dan lengkaplah, ia telah melihatku. Bertepatan dengan itu, pemilik rumah telah tampak di depan mata.
”Ya?”
”Awas Pak! Ada Bulan yang menyambar,” kataku buru-buru padanya. Dan ia menatapku dengan sedikit mengerlingkan mata ke arah dalam rumah. Ya! Akupun masuk sesuai perintahnya. Tapi, bukankah dengan sekejap Bulan akan membakar rumah ini seperti dia membakar rumahku tadi?
Bodohnya aku. Sementara nyawa Bapak ini juga akan terancam. Tapi tunggu! Kenapa Bapak ini dengan mudahnya menyuruhku masuk. Padahal ia belum mengenalku betul. Aku menatapnya seraya mengerenyitkan kening. Tapi yang tampak olehku ia justru ke dapur seperti sedang sibuk mengambil secangkir teh. Tak lama ia kembali dan aku masih terus berdiri dengan tak percaya.
“Duduklah dan minumlah teh bersamaku,” katanya dengan wajah santai dan tersenyum lembut.
Aku tak mengerti. Tak ada tanda-tanda serangan ke rumah ini. Bukankah tadi Bulan telah menjangkau keberadaanku dan seharusnya kami sudah terbakar di dalam sini. Atau setidaknya ia membuat semacam ancaman di luar sana dengan membakar beberapa bunga di halaman. Ya... itupun kalau Bulan agaknya segan membakar rumah orang yang tak bersalah ini.
“Oke. Kau katakan tadi kalau diluar ada Bulan yang menyambarmu. Ya kan?” Ia mencondongkan sedikit tubuhnya ke arahku sambil terus duduk dan menikmati teh di tangannya. Sementara aku yang duduk berjarak setengah meter di depannya masih terus mengetes pikiran-pikiran positif. Setidaknya aku harus tahu mengapa bapak yang usianya kira-kira lima puluh tahun ini terlihat santai. Usia yang terpaut dua puluh tahun di atasku. Memang wajar bila ia terlihat lebih berwibawa di depanku.
”Saya masih tak mengerti kenapa Bapak tidak merasa takut. Kenapa pula Bapak seakan tahu kegelisahan saya?”
”Itu tidak sulit. Aku sudah pernah mengalaminya,” katanya sambil meletakkan teh itu ke atas meja. Dan sekarang ia menyilangkan kakinya. Benar-benar terlihat lebih santai kali ini.
”Ayo... minumlah dulu!” katanya sambil mengerlingkan mata ke arah secangkir teh yang masih penuh di sebelah teh miliknya. Tanpa ragu aku langsung menyeruput teh itu. Hangat dan manis.
”Begini, saya tinggal di kompleks ini juga,” kataku memulai pembicaraan sembari usai meletakkan teh kembali ke atas meja.
”Ya... aku tahu. Hmmm... aku tahu semua tentangmu. Hanya mungkin selama ini kau yang tidak mengetahui tentang aku,” katanya menyakinkanku.
”Maksud Bapak?” Tanyaku kembali dengan tanda tanya besar di wajahku yang mulai mencair dari kondisi menegangkan tadi.
”Aku tahu kau menyukai Bulan, iya kan? Dan ya... dahulu akupun menyukai Bulan. Bahkan aku memujanya dengan segudang pujaan. Wajahnya cerah, dagunya runcing, matanya begitu berbinar. Membuatku tak mampu berpaling darinya,” katanya seraya menatap lurus di sebelahku. Seperti sedang melewati lorong-lorong. Ia jauh, begitu jauh membawa pikirannya.
”Jangan heran. Kau laki-laki normal. Jadi wajar menyukai Bulan,” katanya kembali melihat ke arahku dengan senyum lembut.
”Jadi bagaimana? Aku harus membuat ia pergi dari kehidupanku!”
”Itu gampang,” katanya padaku dan sepertinya kali ini ia ingin lebih menyakinkanku. Seakan sejak tadi ia tahu dari mana akan memulai dan sampai kapan akan mengakhiri.
”Bagaimana?”
”Berpuasalah...”
”Maksudmu?”
”Ya... kau harus menimpai kegiatan-kegiatanmu di siang hari dengan terus berpuasa,” katanya padaku dan aku masih tak mengerti.
”Bulan itu akan berhenti bila kau berpuasa,” katanya lagi lalu melanjutkan, ”Aku pernah berbuat seperti yang kau buat. Kau tinggal meminta maap pada istrimu dan anak-anakmu. Kau jauhi kegiatan berbohongmu dan kau tinggalkan fitnah serta pergi mencarinya, Bulan. Tetaplah dijalan-Nya,” katanya sambil tersenyum lagi dan kali ini lebih lembut.
”Itu saja?” kataku membalasnya dengan masih terperangah sembari mengerenyitkan kening.
”Ya! Semua itu,” katanya.
***
Puasa membawa batinku benar-benar lahir dengan kesucian yang berlimpah. Maka aku tak pernah menatap bulan lagi di malam hari sembari berharap. Bulan yang kukenal di sebuah simpang empat dan menumpangiku setiap malam akan sirna. Pergi meninggalkanku dengan istri dan anak-anakku.
Serambi KOMPAK, 24-27 Juli 2011
Seputar Indonesia, 7 Agustus 2011
Jumat, 01 April 2011
Yathrib bin Mahlaeil
Ria Ristiana Dewi
Seorang anak yang hidup tanpa ayah dan ibu─yang mampu bertahan hidup dan menjadi anak ajaib. Seorang anak yang tak pernah mengeluh dan bertanya pada Tuhannya kenapa aku dilahirkan menjadi seorang anak namun tanpa ayah dan ibu.
Ini perihal kehidupan anak manusia. Tentang pesan-pesan abadi yang ingin Allah tuturkan. Ia, seorang anak yang membisu di sudut rintik-rintik, yang berjalan menyusuri gerimis─menembus cahaya matahari. Ia adalah titipan Ilahi. Di sana batinnya termangu menatap langit sembari tidur-tiduran mencari rasi bintang berwajah ayah dan ibunya. Ia, Muhammad dan bila di deretan padang Masyar−namanya dipanggil untuk urutan awal dengan wajah berbinar-binar sebab hatinya putih karena telah dicuci bersih kemarin di bumi Allah.
“Lalu… ibu, apakah Rasulullah selalu menangis?”
“Anakku, Rasulullah bahkan tak pernah mengeluhkan hal itu.”
***
Yatrib Bin Mahleil. Nama itu diberikan abinya yang berasal dari Mesir─buah persinggahan ayah dan ibunya saat berada di Madinah. Entahlah… apakah karena kota penuh sejarah cinta terhadap Rasulullah sebab ayah dan ibunya begitu mencintai Rasulullah. Begitulah sang bibi bercerita padanya. Namun, abinya itu telah meninggal bersama ibunya saat kecelakaan pesawat menuju Indonesia. Saat itu usianya masih delapan tahun. Dan tangisnya terdengar hingga surga.
Ia kini tinggal bersama bibinya, namun sehari-hari ia memanggil sang bibi dengan sebutan ibu. Ia merasakan bahwa bibinya itu seperti ibu kandungnya sendiri. Sang bibi itulah yang selalu memperkenalkan Muhammad kepadanya agar ia tak larut dalam kesedihan karena sesungguhnya kehidupan Nabi Muhammad juga tanpa ayah dan ibu.
Ia merindukan ibunya, abinya. Ia selalu menatap langit itu, selalu setiap malam dipenuhi bintang dan dikatakannya bintang-bintang itu salah satunya adalah ayah dan ibu yang mana mereka mengelilingi bintang terbesar, Muhammad SAW.
Mahlaeil! Begitulah ia dipanggil. Beranjak matahari yang mulai menggagahi bumi, hujan gerimis di semesta sang fajar perlahan tidur di angkasa. Sinar mengalahkan sejuta rintik hujan. Dan di balik jendela kayu jati, air merembes pelan beserta bulir-bulir bagai linangan air mata langit tumpah membasahi. Hamparan sawah terlihat oleh Mahleil di balik jendela itu. hijau memenuhi daratan hingga mengindahkan air sungai mengalir lembut, genangan pula di beberapa waduk pendesaan.
Mahleil dilahirkan di Mesir, namun kini ia diasuh bibinya di sebuah desa mungil dengan penduduk hanya sekitar dua ribu orang. Usianya mulai beranjak tiga belas tahun, namun sikapnya sehari-hari sudah seperti usia dewasa. Ini karena setiap hari ia harus berdagang membantu bibinya. Mereka hanya tinggal berdua. Sang bibi adalah seorang penjual kue keliling yang selalu mensyukuri kehidupannya. Begitupun ia juga menyempatkan diri menyantuni Mahlaeil hingga sekarang. Namun, belakangan bibi sering sakit-sakitan dan Mahlaeil rela bolos sekolah demi membantu bibinya menjual kue bahkan di usianya yang masih belia.
Pagi sekali ia berangkat dari rumah. Bibi akan memasak dua jenis kue di rumah dan jenis yang lainnya akan diambil dari beberapa tetangga yang juga menjual kue, namun enggan berkeliling. Dengan penuh keikhlasan, Mahlaeil berkeliling desa menjual kue-kue tersebut. Tak ia pikirkan lagi bagaimana masa depannya. Yang ia tahu bibi kesayangannya sedang sakit, satu-satunya orang tua yang ia miliki saat ini. Setiap berjualan ia selalu ingat nasihat-nasihat sang bibi agar apapun yang terjadi harus tetap bersabar dan bersyukur. Begitulah Mahlaeil tumbuh menjadi anak yang dewasa lebih dini.
Begitulah….
Madinah juga pernah tak luput dengan kondisi kering-kerontang. Debu berterbangan di setiap tempat, seperti kabut tipis yang dimainkan angin. Butirannya panas serupa bara ketika memercik wajah, ngilu serta perih ketika bersarang pada sudut mata. Pelepah kurma beranggas-ranggas dengan buahnya berjuntai-juntai mendekati ranum. Sumur-sumur dan kolam air tinggal di kubangan tanah merekah yang merana dan sepi. Namun, Madinah tetap dikatakan tanah yang penuh catatan cinta. Karena seberapapun kesulitan yang dialami wilayah itu akan menjadi subur kala Rasulullah selalu diingat dan ditiru akhlak baiknya.
Di sinilah tanah Mahlaeil, tanah penuh kesuburan itu. Bukan Madinah, namun seakan cinta justru kering-kerontang di tempat ini. Namun, Mahlaeil ingin membuktikan hal lain. Hari ini wajah langit pucat pasi. Menghentikan langkah Mahlaeil untuk terus berkeliling. Ia berteduh di bawah beranda rumah ataupun toko kecil sekitar desa. Selama menunggu hujan reda, Mahlaeil mengambil buku yang selalu dibawanya dan sela itulah ia mulai membaca. Kemauannya membuat ia tak kalah ketinggalan informasi pelajaran, selalu dibuatnya situasi memungkinkan. Hari ini ia membaca buku tentang Muhammad. Buku itu dihadiahkan salah seorang gurunya. Matanya bergerak-gerak dengan serius, wajahnya jatuh ke permukaan kata-kata dan pikirannya tumpah pada kisah perjuangan Muhammad. Air berbulir-bulir jatuh menggenang di kelopak mata, sayup-sayup berkecamuk pada dada seakan Muhammad begitu dekat pada dirinya. Muhammad selalu berdagang dengan kejujuran, tak pernah ia mengakali pembeli dagangannya dan selalu didoakannya para pembeli pula senantiasa mensyukuri pemberian Allah.
“Muhammad…,” serunya pelan ditemani suara rintik hujan yang perlahan berduyun-duyun deras. Air matanya tak terbendung lagi, jatuh bercampur pada air yang menggenang di sepanjang jalanan.
“Muhammad tak pernah mengkhawatirkan kemiskinan, ia sungguh sayang pada setiap orang bahkan pada yang telah mencacinya ataupun melancarkan fitnah dan adu domba. Ia selalu percaya akhirnya kebaikan akan menampakkan diri ke permukaan. Muhammad memiliki ayah seorang pedagang yang giat, ibunya seorang wanita santun, dan kakeknya adalah orang yang dihormati serta memiliki kedudukan cukup tinggi di kalangan bangsa Quraisy. Namun, setelah orang-orang yang dicintainya itu meninggal Muhammad selalu mendapatkan pula kasih sayang dari pamannya. Ia adalah seorang anak yang tak ingin mengukur seberapa kasih sayang untuk dirinya, namun ia selalu ingin memberikan kasih sayang pada orang lain. Jadi, demikian cinta Muhammad bahkan melebihi cinta manusia yang lain.”
Masih di beranda toko, Mahlaeil yang masih merenungkan kata-kata bibinya akibat hujan mengguyur, kini tersentak kagum lalu menyimpan buku di tangan ke dalam tas yang dibawanya. Air satu-satu habis dimakan cahaya, langit masih malu-malu bersinar. Saatnya bagi Mahlaeil melanjutkan perjalanan menjual kue.
“Kue… kue… kue….”
Dalam perjalanan, tampak dengan sorotan dari jauh tas ransel masih dipikulnya berisi buku-buku, minuman, makanan untuk menu istirahatnya di tengah perjalanan. Setelah membaca buku tadi, kini wajahnya bersinar-sinar, hatinya cemerlang dan semangat membara bagai api meluap-luap siap memberi energi.
“Kue!”
Mahlaeil berhenti mendengar suara itu. Ia melihat lambaian tangan. Ah… pelanggan, begitulah langkahnya berjalan senang berkecipak pada becek air bercampur Lumpur. Pelan-pelan ia mengangkat kaki agar tak mengotori pakaiannya.
“Berapa satu kuenya, dek!”
“Lima ratus, Mbak!”
“Wah… murah ya padahal besar-besar, kamu ambil untung berapa?”
“Begini Mbak, kue ini sudah cacat sedikit karena saya tidak sengaja menekannya dengan tangan sewaktu duduk di beranda menunggu hujan reda. Jadi, saya jual lebih murah.”
“Masyaallah…. Ya sudah gak apa Dek, biar Mbak bayar seperti harga semula saja. Kasian kamu sudah lelah seharian, kan?”
“Alhamdulillah, Mbak! Mbak baik sekali. Semoga dibalas oleh Allah SWT.”
“Tidak apa, lagian kamu sudah jujur pada Mbak. Jagalah kejujuran itu ya….”
Mahlaeil menyalami pelanggannya dan mengucapkan terimakasih. Ia ingat kejujuran Nabi Muhammad dalam berdagang seperti yang selama ini diceritakan bibinya. Perasaannya semakin damai, jantungnya berdetak kencang dan hati pun berbunga-bunga. Tak lupa ia mendoakan pelanggannya agar mendapat kenikmatan pada kue-kue itu. Kali ini ia melihat lagi dagangannya. Tinggal beberapa kue. Hari masih setengah sore dan jika ia terus berjalan di sepanjang desa, ia yakin akan menghabiskan kue-kue itu. Namun, sebelumnya adzan pertanda shalat ahsar telah tiba. Mahlaeil memutar haluan ke surau dekat situ. Surau yang sudah sangat tua, penyangga di sekelilingnya tak tahu sampai berapa lama akan bertahan. Di dalamnya Mahlaeil hanya melihat satu orang sedang khusyuk menjalankan perintah Ilahi, dengan gerakan-gerakan mahir, masih kuat. Padahal, seperti yang Mahlaeil amati usia orang itu sudah cukup tua dan layaknya dipanggil kakek.
Mahlaeil langsung saja mengambil wudhu, tapi sebelumnya ia tak melihat kamar mandi ataupun air pancuran di sekitar surau. Dengan bingung, ditunggunya sang kakek selesai shalat.
“Assalamualaikum, Kek!”
“A… ya… walaikumsalam,” jawab sang kakek heran dan ragu-ragu. Dipandanginya terus Mahlaeil, lalu tiba-tiba ia tersenyum lembut.
“Ada apa, Nak?”
“Begini, saya mau tanya di mana tempat untuk berwudhu?”
“Oh… ya… pergilah ke balik surau ini, di belakangnya ada sebuah sungai yang mengalir.”
“Baiklah, Kek. Terima kasih.”
Mahlaeil paham dan ia langsung menyalami, mengucapkan salam pada sang kakek lalu beranjak cepat ke belakang surau. Pepohonan rimbun mengelilingi Surau itu, tubuhnya besar-besar memberi udara sejuk. Masih ada tetes air satu-satu di antara daun-daun. Mahleil mulai mengekori arah jalan dan ia mulai melihat anak sungai jernih, bersih.
“Wah… bersih…,” katanya masih sendirian.
Setelah sedikit merasakan dingin jernihnya air sungai, Mahlaeil kembali ke surau itu, namun ia tak melihat sang kakek lagi. Dibiarkannya saja, mungkin batinnya mewajari hal itu.
Selesai shalat, entah mengapa Mahlaeil tergesa-gesa kembali ke belakang surau dan diambilnya sedikit air sungai ke tempat air yang dibawanya. Lalu ia melanjutkan perjalanan menjual kue sampai senja telah padam pada malam. Dalam senja itu Mahlaeil mengisi pikirannya lagi-lagi dengan kisah Rasulullah yang diceritakan sang bibi.
“Nak, tahukah…. Rasulullah pernah menghadapi perang. Namanya perang uhud. Ini kisah tujuh puluh luka tanda cinta, Nak! Rasulullah pernah sangat terluka pada perang uhud. Lawannya mengira Rasulullah telah mati. Mereka menganggap bahwa takkan ada lagi yang menolong Rasulullah saat dalam kondisi terhimpit. Sang lawan mengira bahwa para sahabat Rasulullah akan berlari sesuai nurani kemanusiaannya meninggalkan Rasulullah dalam keadaan sekarat. Namun, mereka salah besar. Inilah ia cinta itu. Para sahabat rela berpuluh panah menembus tubuhnya hingga tak dikenali akibat terlalu banyak luka, bahkan ada yang mengobati luka Rasulullah dengan mulutnya menghisap darah yang mengalir di tubuh Rasulullah. Ada lagi yang berjalan memampangkan tubuhnya untuk diguyur pedang dan panah demi keselamatan Rasulullah yang dengan akal sehat sudah tak mungkin lagi terselamatkan. Namun, kecintaan sahabat lebih besar. Mereka bahu membahu menolong Rasulullah hingga akhirnya Rasulullah selamat untuk kemudian masih dapat berjuang kembali di jalan Allah.”
Laeil menangis lagi. Kali ini ini tertunduk menekan perutnya dan meminggirkan tubuh di samping jalan. Sementara ia melihat langit yang begitu luas. Begitu luar biasa Rasulullah, kekasih Allah. Itulah hasil tatapannya kepada langit itu. dan kini dengan hamdallah ia pulang dalam tenang.
“Bagaimana Laeil, pasti capek ya, Nak?” Tanya bibi menyambut Mahlaeil pulang. Dipeluknya Mahlaeil dengan tangis dan diciumnya pipi Mahlaeil.
“Gak, Bu! Oya… Laeil bawa air tadi, gak tahu kenapa Laeil merasa segar setelah meminumnya, jadi Laeil ingat ibu dan mau ibu meminumnya.”
“Air sungai? Dimana?”
“Di belakang surau dekat sekeliling pohon jati arah mau ke desa sebelah, pas di patahan jalannya.”
“Setahu ibu, disitu tidak ada surau, Laeil!”
Sepontan Mahlaeil dan bibi saling pandang memandang. Tak jelas siapa yang salah, tapi Mahlaeil yakin ia melaksanakan shalat di surau itu sekaligus mengambil wudhu di sungai dekat surau.
“Jadi…,” sambung Mahlaeil lagi. “Sang kakek?”
“Kakek katamu, Laeil?”
Mahlaeil langsung terdiam dan bertanya-tanya dalam dirinya, namun ia tak menghiraukan lagi. Baginya yang paling penting adalah pesan kebaikan itu. Ia masih ingat pengorbanan sahabat Rasulullah demi keselamatan Rasulullah dan ia ingin menjadi seperti para sahabat pun seperti yang diajarkan Rasulullah yaitu cinta diluar dugaan. Dan ia mencintai bibinya. Ia adalah harapan bagi kesembuhan bahkan tawa pada bibinya. Ia semakin yakin tentang pesan itu, pesan yang ia tuliskan di salah satu cerpennya tentang sebuah suaru, tentang kakek, tentang sungai jernih yang mengalir di belakang surau. Walaupun bukan fakta seperti permintaan panitia, setidaknya inilah bukti kecintaannya pada bibi. Semoga cerpenku ini mampu memenangkan perlombaan dan uangnya akan kubelikan obat untuk bibi. Amin.
Serambi KOMPAK, Februari 2011NB: Yatrib Bin Mahlaeil : Nama Lama dari Kota Madinah. (www. Google.com, ketik Sejarah Kota Madinah)
Ria Ristiana Dewi
Seorang anak yang hidup tanpa ayah dan ibu─yang mampu bertahan hidup dan menjadi anak ajaib. Seorang anak yang tak pernah mengeluh dan bertanya pada Tuhannya kenapa aku dilahirkan menjadi seorang anak namun tanpa ayah dan ibu.
Ini perihal kehidupan anak manusia. Tentang pesan-pesan abadi yang ingin Allah tuturkan. Ia, seorang anak yang membisu di sudut rintik-rintik, yang berjalan menyusuri gerimis─menembus cahaya matahari. Ia adalah titipan Ilahi. Di sana batinnya termangu menatap langit sembari tidur-tiduran mencari rasi bintang berwajah ayah dan ibunya. Ia, Muhammad dan bila di deretan padang Masyar−namanya dipanggil untuk urutan awal dengan wajah berbinar-binar sebab hatinya putih karena telah dicuci bersih kemarin di bumi Allah.
“Lalu… ibu, apakah Rasulullah selalu menangis?”
“Anakku, Rasulullah bahkan tak pernah mengeluhkan hal itu.”
***
Yatrib Bin Mahleil. Nama itu diberikan abinya yang berasal dari Mesir─buah persinggahan ayah dan ibunya saat berada di Madinah. Entahlah… apakah karena kota penuh sejarah cinta terhadap Rasulullah sebab ayah dan ibunya begitu mencintai Rasulullah. Begitulah sang bibi bercerita padanya. Namun, abinya itu telah meninggal bersama ibunya saat kecelakaan pesawat menuju Indonesia. Saat itu usianya masih delapan tahun. Dan tangisnya terdengar hingga surga.
Ia kini tinggal bersama bibinya, namun sehari-hari ia memanggil sang bibi dengan sebutan ibu. Ia merasakan bahwa bibinya itu seperti ibu kandungnya sendiri. Sang bibi itulah yang selalu memperkenalkan Muhammad kepadanya agar ia tak larut dalam kesedihan karena sesungguhnya kehidupan Nabi Muhammad juga tanpa ayah dan ibu.
Ia merindukan ibunya, abinya. Ia selalu menatap langit itu, selalu setiap malam dipenuhi bintang dan dikatakannya bintang-bintang itu salah satunya adalah ayah dan ibu yang mana mereka mengelilingi bintang terbesar, Muhammad SAW.
Mahlaeil! Begitulah ia dipanggil. Beranjak matahari yang mulai menggagahi bumi, hujan gerimis di semesta sang fajar perlahan tidur di angkasa. Sinar mengalahkan sejuta rintik hujan. Dan di balik jendela kayu jati, air merembes pelan beserta bulir-bulir bagai linangan air mata langit tumpah membasahi. Hamparan sawah terlihat oleh Mahleil di balik jendela itu. hijau memenuhi daratan hingga mengindahkan air sungai mengalir lembut, genangan pula di beberapa waduk pendesaan.
Mahleil dilahirkan di Mesir, namun kini ia diasuh bibinya di sebuah desa mungil dengan penduduk hanya sekitar dua ribu orang. Usianya mulai beranjak tiga belas tahun, namun sikapnya sehari-hari sudah seperti usia dewasa. Ini karena setiap hari ia harus berdagang membantu bibinya. Mereka hanya tinggal berdua. Sang bibi adalah seorang penjual kue keliling yang selalu mensyukuri kehidupannya. Begitupun ia juga menyempatkan diri menyantuni Mahlaeil hingga sekarang. Namun, belakangan bibi sering sakit-sakitan dan Mahlaeil rela bolos sekolah demi membantu bibinya menjual kue bahkan di usianya yang masih belia.
Pagi sekali ia berangkat dari rumah. Bibi akan memasak dua jenis kue di rumah dan jenis yang lainnya akan diambil dari beberapa tetangga yang juga menjual kue, namun enggan berkeliling. Dengan penuh keikhlasan, Mahlaeil berkeliling desa menjual kue-kue tersebut. Tak ia pikirkan lagi bagaimana masa depannya. Yang ia tahu bibi kesayangannya sedang sakit, satu-satunya orang tua yang ia miliki saat ini. Setiap berjualan ia selalu ingat nasihat-nasihat sang bibi agar apapun yang terjadi harus tetap bersabar dan bersyukur. Begitulah Mahlaeil tumbuh menjadi anak yang dewasa lebih dini.
Begitulah….
Madinah juga pernah tak luput dengan kondisi kering-kerontang. Debu berterbangan di setiap tempat, seperti kabut tipis yang dimainkan angin. Butirannya panas serupa bara ketika memercik wajah, ngilu serta perih ketika bersarang pada sudut mata. Pelepah kurma beranggas-ranggas dengan buahnya berjuntai-juntai mendekati ranum. Sumur-sumur dan kolam air tinggal di kubangan tanah merekah yang merana dan sepi. Namun, Madinah tetap dikatakan tanah yang penuh catatan cinta. Karena seberapapun kesulitan yang dialami wilayah itu akan menjadi subur kala Rasulullah selalu diingat dan ditiru akhlak baiknya.
Di sinilah tanah Mahlaeil, tanah penuh kesuburan itu. Bukan Madinah, namun seakan cinta justru kering-kerontang di tempat ini. Namun, Mahlaeil ingin membuktikan hal lain. Hari ini wajah langit pucat pasi. Menghentikan langkah Mahlaeil untuk terus berkeliling. Ia berteduh di bawah beranda rumah ataupun toko kecil sekitar desa. Selama menunggu hujan reda, Mahlaeil mengambil buku yang selalu dibawanya dan sela itulah ia mulai membaca. Kemauannya membuat ia tak kalah ketinggalan informasi pelajaran, selalu dibuatnya situasi memungkinkan. Hari ini ia membaca buku tentang Muhammad. Buku itu dihadiahkan salah seorang gurunya. Matanya bergerak-gerak dengan serius, wajahnya jatuh ke permukaan kata-kata dan pikirannya tumpah pada kisah perjuangan Muhammad. Air berbulir-bulir jatuh menggenang di kelopak mata, sayup-sayup berkecamuk pada dada seakan Muhammad begitu dekat pada dirinya. Muhammad selalu berdagang dengan kejujuran, tak pernah ia mengakali pembeli dagangannya dan selalu didoakannya para pembeli pula senantiasa mensyukuri pemberian Allah.
“Muhammad…,” serunya pelan ditemani suara rintik hujan yang perlahan berduyun-duyun deras. Air matanya tak terbendung lagi, jatuh bercampur pada air yang menggenang di sepanjang jalanan.
“Muhammad tak pernah mengkhawatirkan kemiskinan, ia sungguh sayang pada setiap orang bahkan pada yang telah mencacinya ataupun melancarkan fitnah dan adu domba. Ia selalu percaya akhirnya kebaikan akan menampakkan diri ke permukaan. Muhammad memiliki ayah seorang pedagang yang giat, ibunya seorang wanita santun, dan kakeknya adalah orang yang dihormati serta memiliki kedudukan cukup tinggi di kalangan bangsa Quraisy. Namun, setelah orang-orang yang dicintainya itu meninggal Muhammad selalu mendapatkan pula kasih sayang dari pamannya. Ia adalah seorang anak yang tak ingin mengukur seberapa kasih sayang untuk dirinya, namun ia selalu ingin memberikan kasih sayang pada orang lain. Jadi, demikian cinta Muhammad bahkan melebihi cinta manusia yang lain.”
Masih di beranda toko, Mahlaeil yang masih merenungkan kata-kata bibinya akibat hujan mengguyur, kini tersentak kagum lalu menyimpan buku di tangan ke dalam tas yang dibawanya. Air satu-satu habis dimakan cahaya, langit masih malu-malu bersinar. Saatnya bagi Mahlaeil melanjutkan perjalanan menjual kue.
“Kue… kue… kue….”
Dalam perjalanan, tampak dengan sorotan dari jauh tas ransel masih dipikulnya berisi buku-buku, minuman, makanan untuk menu istirahatnya di tengah perjalanan. Setelah membaca buku tadi, kini wajahnya bersinar-sinar, hatinya cemerlang dan semangat membara bagai api meluap-luap siap memberi energi.
“Kue!”
Mahlaeil berhenti mendengar suara itu. Ia melihat lambaian tangan. Ah… pelanggan, begitulah langkahnya berjalan senang berkecipak pada becek air bercampur Lumpur. Pelan-pelan ia mengangkat kaki agar tak mengotori pakaiannya.
“Berapa satu kuenya, dek!”
“Lima ratus, Mbak!”
“Wah… murah ya padahal besar-besar, kamu ambil untung berapa?”
“Begini Mbak, kue ini sudah cacat sedikit karena saya tidak sengaja menekannya dengan tangan sewaktu duduk di beranda menunggu hujan reda. Jadi, saya jual lebih murah.”
“Masyaallah…. Ya sudah gak apa Dek, biar Mbak bayar seperti harga semula saja. Kasian kamu sudah lelah seharian, kan?”
“Alhamdulillah, Mbak! Mbak baik sekali. Semoga dibalas oleh Allah SWT.”
“Tidak apa, lagian kamu sudah jujur pada Mbak. Jagalah kejujuran itu ya….”
Mahlaeil menyalami pelanggannya dan mengucapkan terimakasih. Ia ingat kejujuran Nabi Muhammad dalam berdagang seperti yang selama ini diceritakan bibinya. Perasaannya semakin damai, jantungnya berdetak kencang dan hati pun berbunga-bunga. Tak lupa ia mendoakan pelanggannya agar mendapat kenikmatan pada kue-kue itu. Kali ini ia melihat lagi dagangannya. Tinggal beberapa kue. Hari masih setengah sore dan jika ia terus berjalan di sepanjang desa, ia yakin akan menghabiskan kue-kue itu. Namun, sebelumnya adzan pertanda shalat ahsar telah tiba. Mahlaeil memutar haluan ke surau dekat situ. Surau yang sudah sangat tua, penyangga di sekelilingnya tak tahu sampai berapa lama akan bertahan. Di dalamnya Mahlaeil hanya melihat satu orang sedang khusyuk menjalankan perintah Ilahi, dengan gerakan-gerakan mahir, masih kuat. Padahal, seperti yang Mahlaeil amati usia orang itu sudah cukup tua dan layaknya dipanggil kakek.
Mahlaeil langsung saja mengambil wudhu, tapi sebelumnya ia tak melihat kamar mandi ataupun air pancuran di sekitar surau. Dengan bingung, ditunggunya sang kakek selesai shalat.
“Assalamualaikum, Kek!”
“A… ya… walaikumsalam,” jawab sang kakek heran dan ragu-ragu. Dipandanginya terus Mahlaeil, lalu tiba-tiba ia tersenyum lembut.
“Ada apa, Nak?”
“Begini, saya mau tanya di mana tempat untuk berwudhu?”
“Oh… ya… pergilah ke balik surau ini, di belakangnya ada sebuah sungai yang mengalir.”
“Baiklah, Kek. Terima kasih.”
Mahlaeil paham dan ia langsung menyalami, mengucapkan salam pada sang kakek lalu beranjak cepat ke belakang surau. Pepohonan rimbun mengelilingi Surau itu, tubuhnya besar-besar memberi udara sejuk. Masih ada tetes air satu-satu di antara daun-daun. Mahleil mulai mengekori arah jalan dan ia mulai melihat anak sungai jernih, bersih.
“Wah… bersih…,” katanya masih sendirian.
Setelah sedikit merasakan dingin jernihnya air sungai, Mahlaeil kembali ke surau itu, namun ia tak melihat sang kakek lagi. Dibiarkannya saja, mungkin batinnya mewajari hal itu.
Selesai shalat, entah mengapa Mahlaeil tergesa-gesa kembali ke belakang surau dan diambilnya sedikit air sungai ke tempat air yang dibawanya. Lalu ia melanjutkan perjalanan menjual kue sampai senja telah padam pada malam. Dalam senja itu Mahlaeil mengisi pikirannya lagi-lagi dengan kisah Rasulullah yang diceritakan sang bibi.
“Nak, tahukah…. Rasulullah pernah menghadapi perang. Namanya perang uhud. Ini kisah tujuh puluh luka tanda cinta, Nak! Rasulullah pernah sangat terluka pada perang uhud. Lawannya mengira Rasulullah telah mati. Mereka menganggap bahwa takkan ada lagi yang menolong Rasulullah saat dalam kondisi terhimpit. Sang lawan mengira bahwa para sahabat Rasulullah akan berlari sesuai nurani kemanusiaannya meninggalkan Rasulullah dalam keadaan sekarat. Namun, mereka salah besar. Inilah ia cinta itu. Para sahabat rela berpuluh panah menembus tubuhnya hingga tak dikenali akibat terlalu banyak luka, bahkan ada yang mengobati luka Rasulullah dengan mulutnya menghisap darah yang mengalir di tubuh Rasulullah. Ada lagi yang berjalan memampangkan tubuhnya untuk diguyur pedang dan panah demi keselamatan Rasulullah yang dengan akal sehat sudah tak mungkin lagi terselamatkan. Namun, kecintaan sahabat lebih besar. Mereka bahu membahu menolong Rasulullah hingga akhirnya Rasulullah selamat untuk kemudian masih dapat berjuang kembali di jalan Allah.”
Laeil menangis lagi. Kali ini ini tertunduk menekan perutnya dan meminggirkan tubuh di samping jalan. Sementara ia melihat langit yang begitu luas. Begitu luar biasa Rasulullah, kekasih Allah. Itulah hasil tatapannya kepada langit itu. dan kini dengan hamdallah ia pulang dalam tenang.
“Bagaimana Laeil, pasti capek ya, Nak?” Tanya bibi menyambut Mahlaeil pulang. Dipeluknya Mahlaeil dengan tangis dan diciumnya pipi Mahlaeil.
“Gak, Bu! Oya… Laeil bawa air tadi, gak tahu kenapa Laeil merasa segar setelah meminumnya, jadi Laeil ingat ibu dan mau ibu meminumnya.”
“Air sungai? Dimana?”
“Di belakang surau dekat sekeliling pohon jati arah mau ke desa sebelah, pas di patahan jalannya.”
“Setahu ibu, disitu tidak ada surau, Laeil!”
Sepontan Mahlaeil dan bibi saling pandang memandang. Tak jelas siapa yang salah, tapi Mahlaeil yakin ia melaksanakan shalat di surau itu sekaligus mengambil wudhu di sungai dekat surau.
“Jadi…,” sambung Mahlaeil lagi. “Sang kakek?”
“Kakek katamu, Laeil?”
Mahlaeil langsung terdiam dan bertanya-tanya dalam dirinya, namun ia tak menghiraukan lagi. Baginya yang paling penting adalah pesan kebaikan itu. Ia masih ingat pengorbanan sahabat Rasulullah demi keselamatan Rasulullah dan ia ingin menjadi seperti para sahabat pun seperti yang diajarkan Rasulullah yaitu cinta diluar dugaan. Dan ia mencintai bibinya. Ia adalah harapan bagi kesembuhan bahkan tawa pada bibinya. Ia semakin yakin tentang pesan itu, pesan yang ia tuliskan di salah satu cerpennya tentang sebuah suaru, tentang kakek, tentang sungai jernih yang mengalir di belakang surau. Walaupun bukan fakta seperti permintaan panitia, setidaknya inilah bukti kecintaannya pada bibi. Semoga cerpenku ini mampu memenangkan perlombaan dan uangnya akan kubelikan obat untuk bibi. Amin.
Serambi KOMPAK, Februari 2011NB: Yatrib Bin Mahlaeil : Nama Lama dari Kota Madinah. (www. Google.com, ketik Sejarah Kota Madinah)
Kamis, 31 Maret 2011
Catatan Kelapa Muda
Ria Ristiana Dewi
Aku tak pandai bersandiwara. Untuk itulah setiap petikan cahaya berkilau dari arah badan kereta yang lalu lalang selalu menjebak wajahku tersorot oleh matanya. Semua karena aku dan ia terlalu lelah bahkan sangat lelah memikirkan hal yang sama di tiap petikan waktu yang sama pula. Setiap aku mengatakan rindu dan ia mengatakan keinginan untuk mengakhiri jalan ini. Tapi, akhirnya terjerat komitmen. Tak mengapa asalkan demi perjalanan panjang.
Cerita ini tak ada habisnya tentang laki-laki yang mencintai seorang wanita kemudian derajatnya terangkat dengan penuh kebahagiaan, keindahan, dan keharmonisan.
Malam itu, dua buah kelapa muda menemani dengan awan yang terlihat hitam dan penuh kantuk akibat aktivitas seharian. Sembari menggenang jam agar kita saling bertukar kisah. Sempat pula kau katakan bahwa pepohonan di taman ini terlihat indah berdiri kokoh melindungi kita dari sinar bintang dan bulan. Dan kau katakan tempat ini baru pertama kali kau kunjungi. Kira-kira aku hanya menambahkan bahwa tempat ini sejuk serupa mimikmu, senyummu.
Aku terus menatap kedepan sambil ngomel-ngomel namun kau hanya menatapku dari samping. Aku tak berani menoleh agar tak bertemu dengan wajahmu yang kukenal teduh penuh lampiasan rasa, sejuk, menggetarkan.
“Kalau ada banyak sekali masalah toh abang masih dapat menyelesaikannya dengan hati-hati.”
“Jika adik percaya kenapa abang tidak,” katamu membenarkan kata-kataku, menyakinkanku bahwa kau paham.
“Abang bisa terus bercerita,” tambahku menyakinkanmu.
“Hanya saja sekarang ini abang ingin konsentrasi dengan skripsi. Untuk masalah yang lain tidak ingin abang pikirkan,” jelasmu dan itu membuatku sontak diam. Mungkin komitmen itu masih berlaku hingga aku tak mampu mengelak cerita ini. Aku tak berani mengganggu pikiranmu dengan pikiranku.
“Apa?” katamu mengagetkan renunganku. Kau menatapku lekat serupa mencari-cari sesuatu yang tersimpan di wajahku.
“Ah… tidak!” Jelasku lagi masih belum berani melawan matamu. Aku terus dan terus menatap jalanan di depan sambil sesekali berceloteh tentang sepasang insan di atas kereta yang lalu-lalang di depan kami. Memperhatikan lampu-lampu di sekitar taman. Mengalahkan sejuta cahaya bintang dan rembulan.
“Jadi, abang tidak akan kemana-mana kan?” Kataku turut mengagetkan. Tiba-tiba seakan angin yang menyambar.
“Kemana? Dik bilang apa?”
“Kemarin, abang bilang mau ke Jepang?”
“Ha… ha… ha….”
Aku terkejut dengan tawamu. Kali ini aku menoleh melihat wajahmu yang terisak tawa bukan kepalang membuatku bertambah malu.
“Ada-ada saja adik ini. Abang kan gak pandai berbahasa Jepang. Kemarin dik bilang kalau abang gak pandai, jadi gak usah kesana. Iya, kan!”
Aku hanya tersenyum lalu berkata, “Iya… dik pikir bang serius.”
“Lagian gak perlu pandai bahasanya dulu kan sebelum ke sana. Abang hanya sedang kalut kemarin sehingga mengatakan itu. Sudah, tidak usah adik pikirkan.”
Kali ini aku membalas dengan menebar senyum kepadamu. Semoga tiap pipit di pipiku dapat membuatmu juga paham bahwa aku akan diserang badai kerinduan apabila kau jauh bahkan sangat jauh dari tempatku sekarang. Walaupun banyak insan saling mencintai di muka bumi ini bahkan masih tetap setia dan bertahan dengan jarak itu, walaupun mereka kerap mengatakan bahwa yang paling penting itu adalah hati, walaupun mereka mengatakan bahwa jarak merupakan kebahagiaan rindu yang tertunda, aku tetap tak paham, aku tetap akan gundah dan goyah tanpanya di sampingku.
Setengah jam kemudian, aku kembali menyeruput kelapa mudaku. Dan kau sedang mengorek-ngorek kelapanya dari tempurung. Sesekali kulihat kau menjatuhkan kelapa itu dan aku tersenyum melihat tingkahmu.
“Dik, kenapa tadi tidak letakkan di gelas saja.”
“Ah… sudahlah, jangan cerewet. Minum saja. Selamat berjuang, ya!” tambahku mengejeknya dan kembali memilih menyeruput airnya saja.
Mungkin seperti itulah yang harus kita lalui ke depannya. Menghadapi rintangan hanya untuk memuaskan dahaga, menghadapi hidup beserta cobaannya hanya untuk mencapai kebahagiaan sesungguhnya.
Hujan rintik-rintik mulai mengganggu malam itu. Langit mulai menunjukkan bahwa dua pasang insan harus mengakhiri jam pembicaraan dengan catatan kelapa muda yang digenggam sampai menjadi memori tak terlupakan. Pasir-pasir tak terlihat, namun menyengat tercium aroma tanah naik ke ruang udara. Segalanya sirna. Perjumpaan sirna, percakapan sirna, kerinduan telah tuntas.
***
Minggu besoknya. Di hari yang sama, di tempat yang sama, didampingi dua buah kelapa muda untuk sepasang insan yang dengan sengaja dipertemukan malam. Angin tidak begitu kencang, namun santai seiring senyum keduannya yang pula santai. Bulan dan bintang memaksa cahayanya melampau batas sinar lampu hingga terlihat kelokan di daun-daun begitu indah dipenuhi garis-garis sinar. Kali ini aku menatap wajahmu, kali ini justru aku yang mencari-cari rahasia di mimikmu, bukan senyum, namun serius, seperti besok akan ada badai, seperti besok akan ada tsunami, seperti besok akan ada….
“Bulan depan abang mau ke Jepang.”
Kau curang. Kau begitu curang, curang dan curang.
“Masalah bahasa? Benar, abang tidak perlu dapat berbahasa Jepang. Disana kelak abang akan pandai, di sana abang akan berjuang, abang akan mencari banyak rezeki. Dik akan menunggu abang kan, iya kan?”
“Dik!”
Angin tiba-tiba bertiup kencang di ubun-ubunku. Dinginnya malam menyambar cepat. Hatiku tidak bisa santai lagi sekarang. Buru-buru aku menyeruput kelapa muda lalu mengorek-ngoreknya hingga habis sekejap aku makan, aku minum. Tempurungnya aku bolak-balik, sangat cepat, begitu cepat. Aku tak tahu harus apa, aku biarkan diriku asyik bersama kelapa muda di depanku. Aku merasakan nafasnya begitu dekat. Tapi, aku membiarkannya saja. Aku biarkan ia bermain dengan pikirannya sendiri sembari menatap sebelah wajahku. Dan terpaksa, akibat aku tak pandai bersandiwara, akibat aku tak pandai mengatakan kepalsuan. Sorotan lampu malam, dan badan motor yang menawarkan cahaya membuat aku tak mampu menutupi saat air tiba-tiba berjatuhan dari mataku.
“Abang minta maaf.”
Aku diam. Aku masih diam. Anehnya hujan rintik-rintik kembali turun dan aku memintanya agar mengantarkanku pulang. Tanpa ada komentar darinya, seakan ia paham maksudku. Aku ingin memikirkan hal itu nanti, aku tak sanggup menahan air mata disini.
Setelah menyalaminya sebagai tanda aku menghormati ia sebagai laki-laki, lalu ia membiarkanku masuk ke dalam rumah. Juga tanpa komentar.
Aku memikirkan ucapannya semalaman. Di dalam kamar mungilku, dipenuhi boneka-boneka yang selama ini ia hadiahkan untukku. Aku menatap satu-satu, penuh kenangan pada setiap boneka itu. Misalnya saja, saat ia memenangkan pertandingan futsal, sedikit ia sisihkan untuk membelikan aku boneka. Saat aku berulang tahun, saat ia memiliki rezeki dari hasil pekerjaan lepas, ataupun saat tidak sengaja kami berjalan-jalan dan ia melihat boneka lucu lalu membelikannya untukku.
Mungkin, ia masih bisa melakukan itu di Jepang, tentunya via pos. Namun terlebih pada maksudku adalah ia berada disampingku. Dan boneka-boneka itu tetap tak mampu menggantikan senyumnya. Berapa kali atau berapa banyak pun jumlah bonekanya tetap tak akan mengubah tangis ini.
Di malam kedua sejak ia mengatakan akan pergi ke Jepang, aku memintanya bertemu di antara pepohonan, di bawah bulan dan bintang, di tempat di mana kami selalu ditemani dua buah kelapa muda. Sebelum memulai, aku mencoba menahan kebersamaan dengan menyeruput air kelapa hingga habis, mengkorek dagingnya sampai tak bersisa. Satu-satu kuperhatikan sudutnya. Semoga tak ada yang tersisa, batinku.
“Baiklah. Adik ikhlas.”
“Jadi, dik akan menunggu abang?”
“Tidak, dik ikhlas mengakhiri.”
“Maksudnya?” wajahnya dan wajahku selintas sama, sama-sama raut ketakutan, sama-sama bimbang, sama-sama kalut, sama-sama….
“Kita putus.”
“Jadi…” ia menatapku dengan heran. Matanya seakan ingin basah, tapi sekali lagi ia menahannya karena ia sadar bahwa ia seorang laki-laki. Lalu ia berdengus menarik napas satu hingga beberapa kali. Ditepuknya nyamuk yang sesekali membuat malam semakin terlihat malam, membuat angin semakin terasa angin, dingin.
“Maksud dik, kita… berakhir?”
Lalu aku menatapnya penuh keseriusan membalas tatapannya yang juga penuh keseriusan sembari berkata, “kita putus jarak, bukan putus hubungan, bukan putus komitmen. Kita hanya akan saling memahami. Dan dik tidak mungkin bisa berpisah dari abang. Sesuai komitmen, apa pun yang terjadi dik adalah abang dan abang adalah dik.”
“Jadi….”
“Pastinya dik hanya bercanda tadi. Ha…ha…ha….”
Lalu kami tertawa bersama-sama sambil ia juga menghabiskan kelapa muda di depannya dengan penuh semangat yang membara.
Kepada Motivatorku, khair
Serambi KOMPAK, 2010.
Ria Ristiana Dewi
Aku tak pandai bersandiwara. Untuk itulah setiap petikan cahaya berkilau dari arah badan kereta yang lalu lalang selalu menjebak wajahku tersorot oleh matanya. Semua karena aku dan ia terlalu lelah bahkan sangat lelah memikirkan hal yang sama di tiap petikan waktu yang sama pula. Setiap aku mengatakan rindu dan ia mengatakan keinginan untuk mengakhiri jalan ini. Tapi, akhirnya terjerat komitmen. Tak mengapa asalkan demi perjalanan panjang.
Cerita ini tak ada habisnya tentang laki-laki yang mencintai seorang wanita kemudian derajatnya terangkat dengan penuh kebahagiaan, keindahan, dan keharmonisan.
Malam itu, dua buah kelapa muda menemani dengan awan yang terlihat hitam dan penuh kantuk akibat aktivitas seharian. Sembari menggenang jam agar kita saling bertukar kisah. Sempat pula kau katakan bahwa pepohonan di taman ini terlihat indah berdiri kokoh melindungi kita dari sinar bintang dan bulan. Dan kau katakan tempat ini baru pertama kali kau kunjungi. Kira-kira aku hanya menambahkan bahwa tempat ini sejuk serupa mimikmu, senyummu.
Aku terus menatap kedepan sambil ngomel-ngomel namun kau hanya menatapku dari samping. Aku tak berani menoleh agar tak bertemu dengan wajahmu yang kukenal teduh penuh lampiasan rasa, sejuk, menggetarkan.
“Kalau ada banyak sekali masalah toh abang masih dapat menyelesaikannya dengan hati-hati.”
“Jika adik percaya kenapa abang tidak,” katamu membenarkan kata-kataku, menyakinkanku bahwa kau paham.
“Abang bisa terus bercerita,” tambahku menyakinkanmu.
“Hanya saja sekarang ini abang ingin konsentrasi dengan skripsi. Untuk masalah yang lain tidak ingin abang pikirkan,” jelasmu dan itu membuatku sontak diam. Mungkin komitmen itu masih berlaku hingga aku tak mampu mengelak cerita ini. Aku tak berani mengganggu pikiranmu dengan pikiranku.
“Apa?” katamu mengagetkan renunganku. Kau menatapku lekat serupa mencari-cari sesuatu yang tersimpan di wajahku.
“Ah… tidak!” Jelasku lagi masih belum berani melawan matamu. Aku terus dan terus menatap jalanan di depan sambil sesekali berceloteh tentang sepasang insan di atas kereta yang lalu-lalang di depan kami. Memperhatikan lampu-lampu di sekitar taman. Mengalahkan sejuta cahaya bintang dan rembulan.
“Jadi, abang tidak akan kemana-mana kan?” Kataku turut mengagetkan. Tiba-tiba seakan angin yang menyambar.
“Kemana? Dik bilang apa?”
“Kemarin, abang bilang mau ke Jepang?”
“Ha… ha… ha….”
Aku terkejut dengan tawamu. Kali ini aku menoleh melihat wajahmu yang terisak tawa bukan kepalang membuatku bertambah malu.
“Ada-ada saja adik ini. Abang kan gak pandai berbahasa Jepang. Kemarin dik bilang kalau abang gak pandai, jadi gak usah kesana. Iya, kan!”
Aku hanya tersenyum lalu berkata, “Iya… dik pikir bang serius.”
“Lagian gak perlu pandai bahasanya dulu kan sebelum ke sana. Abang hanya sedang kalut kemarin sehingga mengatakan itu. Sudah, tidak usah adik pikirkan.”
Kali ini aku membalas dengan menebar senyum kepadamu. Semoga tiap pipit di pipiku dapat membuatmu juga paham bahwa aku akan diserang badai kerinduan apabila kau jauh bahkan sangat jauh dari tempatku sekarang. Walaupun banyak insan saling mencintai di muka bumi ini bahkan masih tetap setia dan bertahan dengan jarak itu, walaupun mereka kerap mengatakan bahwa yang paling penting itu adalah hati, walaupun mereka mengatakan bahwa jarak merupakan kebahagiaan rindu yang tertunda, aku tetap tak paham, aku tetap akan gundah dan goyah tanpanya di sampingku.
Setengah jam kemudian, aku kembali menyeruput kelapa mudaku. Dan kau sedang mengorek-ngorek kelapanya dari tempurung. Sesekali kulihat kau menjatuhkan kelapa itu dan aku tersenyum melihat tingkahmu.
“Dik, kenapa tadi tidak letakkan di gelas saja.”
“Ah… sudahlah, jangan cerewet. Minum saja. Selamat berjuang, ya!” tambahku mengejeknya dan kembali memilih menyeruput airnya saja.
Mungkin seperti itulah yang harus kita lalui ke depannya. Menghadapi rintangan hanya untuk memuaskan dahaga, menghadapi hidup beserta cobaannya hanya untuk mencapai kebahagiaan sesungguhnya.
Hujan rintik-rintik mulai mengganggu malam itu. Langit mulai menunjukkan bahwa dua pasang insan harus mengakhiri jam pembicaraan dengan catatan kelapa muda yang digenggam sampai menjadi memori tak terlupakan. Pasir-pasir tak terlihat, namun menyengat tercium aroma tanah naik ke ruang udara. Segalanya sirna. Perjumpaan sirna, percakapan sirna, kerinduan telah tuntas.
***
Minggu besoknya. Di hari yang sama, di tempat yang sama, didampingi dua buah kelapa muda untuk sepasang insan yang dengan sengaja dipertemukan malam. Angin tidak begitu kencang, namun santai seiring senyum keduannya yang pula santai. Bulan dan bintang memaksa cahayanya melampau batas sinar lampu hingga terlihat kelokan di daun-daun begitu indah dipenuhi garis-garis sinar. Kali ini aku menatap wajahmu, kali ini justru aku yang mencari-cari rahasia di mimikmu, bukan senyum, namun serius, seperti besok akan ada badai, seperti besok akan ada tsunami, seperti besok akan ada….
“Bulan depan abang mau ke Jepang.”
Kau curang. Kau begitu curang, curang dan curang.
“Masalah bahasa? Benar, abang tidak perlu dapat berbahasa Jepang. Disana kelak abang akan pandai, di sana abang akan berjuang, abang akan mencari banyak rezeki. Dik akan menunggu abang kan, iya kan?”
“Dik!”
Angin tiba-tiba bertiup kencang di ubun-ubunku. Dinginnya malam menyambar cepat. Hatiku tidak bisa santai lagi sekarang. Buru-buru aku menyeruput kelapa muda lalu mengorek-ngoreknya hingga habis sekejap aku makan, aku minum. Tempurungnya aku bolak-balik, sangat cepat, begitu cepat. Aku tak tahu harus apa, aku biarkan diriku asyik bersama kelapa muda di depanku. Aku merasakan nafasnya begitu dekat. Tapi, aku membiarkannya saja. Aku biarkan ia bermain dengan pikirannya sendiri sembari menatap sebelah wajahku. Dan terpaksa, akibat aku tak pandai bersandiwara, akibat aku tak pandai mengatakan kepalsuan. Sorotan lampu malam, dan badan motor yang menawarkan cahaya membuat aku tak mampu menutupi saat air tiba-tiba berjatuhan dari mataku.
“Abang minta maaf.”
Aku diam. Aku masih diam. Anehnya hujan rintik-rintik kembali turun dan aku memintanya agar mengantarkanku pulang. Tanpa ada komentar darinya, seakan ia paham maksudku. Aku ingin memikirkan hal itu nanti, aku tak sanggup menahan air mata disini.
Setelah menyalaminya sebagai tanda aku menghormati ia sebagai laki-laki, lalu ia membiarkanku masuk ke dalam rumah. Juga tanpa komentar.
Aku memikirkan ucapannya semalaman. Di dalam kamar mungilku, dipenuhi boneka-boneka yang selama ini ia hadiahkan untukku. Aku menatap satu-satu, penuh kenangan pada setiap boneka itu. Misalnya saja, saat ia memenangkan pertandingan futsal, sedikit ia sisihkan untuk membelikan aku boneka. Saat aku berulang tahun, saat ia memiliki rezeki dari hasil pekerjaan lepas, ataupun saat tidak sengaja kami berjalan-jalan dan ia melihat boneka lucu lalu membelikannya untukku.
Mungkin, ia masih bisa melakukan itu di Jepang, tentunya via pos. Namun terlebih pada maksudku adalah ia berada disampingku. Dan boneka-boneka itu tetap tak mampu menggantikan senyumnya. Berapa kali atau berapa banyak pun jumlah bonekanya tetap tak akan mengubah tangis ini.
Di malam kedua sejak ia mengatakan akan pergi ke Jepang, aku memintanya bertemu di antara pepohonan, di bawah bulan dan bintang, di tempat di mana kami selalu ditemani dua buah kelapa muda. Sebelum memulai, aku mencoba menahan kebersamaan dengan menyeruput air kelapa hingga habis, mengkorek dagingnya sampai tak bersisa. Satu-satu kuperhatikan sudutnya. Semoga tak ada yang tersisa, batinku.
“Baiklah. Adik ikhlas.”
“Jadi, dik akan menunggu abang?”
“Tidak, dik ikhlas mengakhiri.”
“Maksudnya?” wajahnya dan wajahku selintas sama, sama-sama raut ketakutan, sama-sama bimbang, sama-sama kalut, sama-sama….
“Kita putus.”
“Jadi…” ia menatapku dengan heran. Matanya seakan ingin basah, tapi sekali lagi ia menahannya karena ia sadar bahwa ia seorang laki-laki. Lalu ia berdengus menarik napas satu hingga beberapa kali. Ditepuknya nyamuk yang sesekali membuat malam semakin terlihat malam, membuat angin semakin terasa angin, dingin.
“Maksud dik, kita… berakhir?”
Lalu aku menatapnya penuh keseriusan membalas tatapannya yang juga penuh keseriusan sembari berkata, “kita putus jarak, bukan putus hubungan, bukan putus komitmen. Kita hanya akan saling memahami. Dan dik tidak mungkin bisa berpisah dari abang. Sesuai komitmen, apa pun yang terjadi dik adalah abang dan abang adalah dik.”
“Jadi….”
“Pastinya dik hanya bercanda tadi. Ha…ha…ha….”
Lalu kami tertawa bersama-sama sambil ia juga menghabiskan kelapa muda di depannya dengan penuh semangat yang membara.
Kepada Motivatorku, khair
Serambi KOMPAK, 2010.
Medan Bisnis, 23 Januari 2011
Minggu, 13 Juni 2010
Mengartikan Bening Mata
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Menelantarkan kilas linangan air matamu menggugah sandiwara perih melihat betapa bening matamu coba ungkapkan keluh yang beringsut di sudut kornea Biru di sorot lampu gulita, merah dibuat gores suram yang menyempit menutup tangis-tangis suri bergurat tak henti-henti tak terduga bening matamu sungguh mengikis angkuhku, mengingat kata-kata ”Terus niatkan tanpa mengukuh serah takdir” ada jalan yang tersirat saat kedipanmu menguat bening matamu berarti ada jalan pelan-pelan di penghujung suram pasti merujuk manis arti panah air mata
Syair Bergurau
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Pada jalan yang mengecoh suratan kasih salahmu menjadi koma benarku menjadi koma kita benar-benar berada pada air menggelimang di daun talas pintaku hanya rindu hangat-hangat seperti saat kau menggumpal syair syair-syair pengintai langit luluhku pada pertama kali nadaku dan nadamu bertemu pada baris kata-kata nada-nada yang kau guraukan dan nada-nada yang ku pinggirkan sungguh aku mega penurut rindu jadi, biar syair itu jauh secara pasti tak ingin hanya menyebar omong-omong bila nanti sebait nada menjawab syair bergurau
Kisah Embun Menebas Sesal
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Embun. beriringan bertukar kisah dan embun kembali mengadu sunyi berbagi pagi dengan linangan air di sudut ranting Kembali embun sembari melingkarkan arah peringai air yang berlinang saat pagi tak berbicara lembut sambil menebas sesal tiada tara
23 Mei 2010
Munasadat Yang Terbuang
Karya: Ria Ristiana Dewi
Pemisalan pergi ke surau menindih rasa di awang ayat-ayat yang terlantun tertindih merintih kan berteriak kata rindu tak terporsi waktu terjalani tetap tergawang sayang di ubun-ubun falsku hembuskan angin yang terbawa diterpa bersama angan janji kini tak berbekas hingga memori terakhir
23 Mei 2010
Kupinjam Jantungmu
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Bila jantungmu di selaput telingaku Bisakah kencangkan perdetaknya Akan teralunkan pelan ucapanku... Dari saraf-saraf telinga itu Jantungmu bergetar di bibirku Lidahku bergelut menjadikan sekata tak mampu terucap Ku hanya ingin kau letakkan lagi di amandelku perdetaknya Bisakah lebih cepat beralun cerita Aku bilang aku bisu Mengisyarat kata-kata pun tersangkut rangka batang jantungmu Ku hanya ingin sekata sehidup merasa kasih padamu Kau bisa beralun ke peraduan para hati yang menanti Ingatlah! Ku pinjam hanya sejantungmu saja
Serambi KOMPAK, 21 April 2010 (Medan Bisnis, Rentak, 13 Juni 2010)
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Menelantarkan kilas linangan air matamu menggugah sandiwara perih melihat betapa bening matamu coba ungkapkan keluh yang beringsut di sudut kornea Biru di sorot lampu gulita, merah dibuat gores suram yang menyempit menutup tangis-tangis suri bergurat tak henti-henti tak terduga bening matamu sungguh mengikis angkuhku, mengingat kata-kata ”Terus niatkan tanpa mengukuh serah takdir” ada jalan yang tersirat saat kedipanmu menguat bening matamu berarti ada jalan pelan-pelan di penghujung suram pasti merujuk manis arti panah air mata
Syair Bergurau
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Pada jalan yang mengecoh suratan kasih salahmu menjadi koma benarku menjadi koma kita benar-benar berada pada air menggelimang di daun talas pintaku hanya rindu hangat-hangat seperti saat kau menggumpal syair syair-syair pengintai langit luluhku pada pertama kali nadaku dan nadamu bertemu pada baris kata-kata nada-nada yang kau guraukan dan nada-nada yang ku pinggirkan sungguh aku mega penurut rindu jadi, biar syair itu jauh secara pasti tak ingin hanya menyebar omong-omong bila nanti sebait nada menjawab syair bergurau
Kisah Embun Menebas Sesal
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Embun. beriringan bertukar kisah dan embun kembali mengadu sunyi berbagi pagi dengan linangan air di sudut ranting Kembali embun sembari melingkarkan arah peringai air yang berlinang saat pagi tak berbicara lembut sambil menebas sesal tiada tara
23 Mei 2010
Munasadat Yang Terbuang
Karya: Ria Ristiana Dewi
Pemisalan pergi ke surau menindih rasa di awang ayat-ayat yang terlantun tertindih merintih kan berteriak kata rindu tak terporsi waktu terjalani tetap tergawang sayang di ubun-ubun falsku hembuskan angin yang terbawa diterpa bersama angan janji kini tak berbekas hingga memori terakhir
23 Mei 2010
Kupinjam Jantungmu
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Bila jantungmu di selaput telingaku Bisakah kencangkan perdetaknya Akan teralunkan pelan ucapanku... Dari saraf-saraf telinga itu Jantungmu bergetar di bibirku Lidahku bergelut menjadikan sekata tak mampu terucap Ku hanya ingin kau letakkan lagi di amandelku perdetaknya Bisakah lebih cepat beralun cerita Aku bilang aku bisu Mengisyarat kata-kata pun tersangkut rangka batang jantungmu Ku hanya ingin sekata sehidup merasa kasih padamu Kau bisa beralun ke peraduan para hati yang menanti Ingatlah! Ku pinjam hanya sejantungmu saja
Serambi KOMPAK, 21 April 2010 (Medan Bisnis, Rentak, 13 Juni 2010)
Langganan:
Postingan (Atom)