Kamis, 31 Maret 2011

Catatan Kelapa Muda
                     Ria Ristiana Dewi

       
 Aku tak pandai bersandiwara. Untuk itulah setiap petikan cahaya berkilau dari arah badan kereta yang lalu lalang selalu menjebak wajahku tersorot oleh matanya. Semua karena aku dan ia terlalu lelah bahkan sangat lelah memikirkan hal yang sama di tiap petikan waktu yang sama pula. Setiap aku mengatakan rindu dan ia mengatakan keinginan untuk mengakhiri jalan ini. Tapi, akhirnya terjerat komitmen. Tak mengapa asalkan demi perjalanan panjang. 
       Cerita ini tak ada habisnya tentang laki-laki yang mencintai seorang wanita kemudian derajatnya terangkat dengan penuh kebahagiaan, keindahan, dan keharmonisan. 
        Malam itu, dua buah kelapa muda menemani dengan awan yang terlihat hitam dan penuh kantuk akibat aktivitas seharian. Sembari menggenang jam agar kita saling bertukar kisah. Sempat pula kau katakan bahwa pepohonan di taman ini terlihat indah berdiri kokoh melindungi kita dari sinar bintang dan bulan. Dan kau katakan tempat ini baru pertama kali kau kunjungi. Kira-kira aku hanya menambahkan bahwa tempat ini sejuk serupa mimikmu, senyummu. 
       Aku terus menatap kedepan sambil ngomel-ngomel namun kau hanya menatapku dari samping. Aku tak berani menoleh agar tak bertemu dengan wajahmu yang kukenal teduh penuh lampiasan rasa, sejuk, menggetarkan.
       “Kalau ada banyak sekali masalah toh abang masih dapat menyelesaikannya dengan hati-hati.”
       “Jika adik percaya kenapa abang tidak,” katamu membenarkan kata-kataku, menyakinkanku bahwa kau paham. 
       “Abang bisa terus bercerita,” tambahku menyakinkanmu. 
     “Hanya saja sekarang ini abang ingin konsentrasi dengan skripsi. Untuk masalah yang lain tidak ingin abang pikirkan,” jelasmu dan itu membuatku sontak diam. Mungkin komitmen itu masih berlaku hingga aku tak mampu mengelak cerita ini. Aku tak berani mengganggu pikiranmu dengan pikiranku. 
     “Apa?” katamu mengagetkan renunganku. Kau menatapku lekat serupa mencari-cari sesuatu yang tersimpan di wajahku. 
     “Ah… tidak!” Jelasku lagi masih belum berani melawan matamu. Aku terus dan terus menatap jalanan di depan sambil sesekali berceloteh tentang sepasang insan di atas kereta yang lalu-lalang di depan kami. Memperhatikan lampu-lampu di sekitar taman. Mengalahkan sejuta cahaya bintang dan rembulan.  
     “Jadi, abang tidak akan kemana-mana kan?” Kataku turut mengagetkan. Tiba-tiba seakan angin yang menyambar. 
       “Kemana? Dik bilang apa?”
       “Kemarin, abang bilang mau ke Jepang?”
       “Ha… ha… ha….”
     Aku terkejut dengan tawamu. Kali ini aku menoleh melihat wajahmu yang terisak tawa bukan kepalang membuatku bertambah malu. 
       “Ada-ada saja adik ini. Abang kan gak pandai berbahasa Jepang. Kemarin dik bilang kalau abang gak pandai, jadi gak usah kesana. Iya, kan!”
       Aku hanya tersenyum lalu berkata, “Iya… dik pikir bang serius.”
      “Lagian gak perlu pandai bahasanya dulu kan sebelum ke sana. Abang hanya sedang kalut kemarin sehingga mengatakan itu. Sudah, tidak usah adik pikirkan.”
       Kali ini aku membalas dengan menebar senyum kepadamu. Semoga tiap pipit di pipiku dapat membuatmu juga paham bahwa aku akan diserang badai kerinduan apabila kau jauh bahkan sangat jauh dari tempatku sekarang. Walaupun banyak insan saling mencintai di muka bumi ini bahkan masih tetap setia dan bertahan dengan jarak itu, walaupun mereka kerap mengatakan bahwa yang paling penting itu adalah hati, walaupun mereka mengatakan bahwa jarak merupakan kebahagiaan rindu yang tertunda, aku tetap tak paham, aku tetap akan gundah dan goyah tanpanya di sampingku. 
       Setengah jam kemudian, aku kembali menyeruput kelapa mudaku. Dan kau sedang mengorek-ngorek kelapanya dari tempurung. Sesekali kulihat kau menjatuhkan kelapa itu dan aku tersenyum melihat tingkahmu. 
       “Dik, kenapa tadi tidak letakkan di gelas saja.”
     “Ah… sudahlah, jangan cerewet. Minum saja. Selamat berjuang, ya!” tambahku mengejeknya dan kembali memilih menyeruput airnya saja. 
      Mungkin seperti itulah yang harus kita lalui ke depannya. Menghadapi rintangan hanya untuk memuaskan dahaga, menghadapi hidup beserta cobaannya hanya untuk mencapai kebahagiaan sesungguhnya. 
      Hujan rintik-rintik mulai mengganggu malam itu. Langit mulai menunjukkan bahwa dua pasang insan harus mengakhiri jam pembicaraan dengan catatan kelapa muda yang digenggam sampai menjadi memori tak terlupakan. Pasir-pasir tak terlihat, namun menyengat tercium aroma tanah naik ke ruang udara. Segalanya sirna. Perjumpaan sirna, percakapan sirna, kerinduan telah tuntas. 
                                                                                               ***
        Minggu besoknya. Di hari yang sama, di tempat yang sama, didampingi dua buah kelapa muda untuk sepasang insan yang dengan sengaja dipertemukan malam. Angin tidak begitu kencang, namun santai seiring senyum keduannya yang pula santai. Bulan dan bintang memaksa cahayanya melampau batas sinar lampu hingga terlihat kelokan di daun-daun begitu indah dipenuhi garis-garis sinar. Kali ini aku menatap wajahmu, kali ini justru aku yang mencari-cari rahasia di mimikmu, bukan senyum, namun serius, seperti besok akan ada badai, seperti besok akan ada tsunami, seperti besok akan ada….
       “Bulan depan abang mau ke Jepang.”
        Kau curang. Kau begitu curang, curang dan curang. 
       “Masalah bahasa? Benar, abang tidak perlu dapat berbahasa Jepang. Disana kelak abang akan pandai, di sana abang akan berjuang, abang akan mencari banyak rezeki. Dik akan menunggu abang kan, iya kan?”
       “Dik!”
       Angin tiba-tiba bertiup kencang di ubun-ubunku. Dinginnya malam menyambar cepat. Hatiku tidak bisa santai lagi sekarang. Buru-buru aku menyeruput kelapa muda lalu mengorek-ngoreknya hingga habis sekejap aku makan, aku minum. Tempurungnya aku bolak-balik, sangat cepat, begitu cepat. Aku tak tahu harus apa, aku biarkan diriku asyik bersama kelapa muda di depanku. Aku merasakan nafasnya begitu dekat. Tapi, aku membiarkannya saja. Aku biarkan ia bermain dengan pikirannya sendiri sembari menatap sebelah wajahku. Dan terpaksa, akibat aku tak pandai bersandiwara, akibat aku tak pandai mengatakan kepalsuan. Sorotan lampu malam, dan badan motor yang menawarkan cahaya membuat aku tak mampu menutupi saat air tiba-tiba berjatuhan dari mataku. 
        “Abang minta maaf.”
       Aku diam. Aku masih diam. Anehnya hujan rintik-rintik kembali turun dan aku memintanya agar mengantarkanku pulang. Tanpa ada komentar darinya, seakan ia paham maksudku. Aku ingin memikirkan hal itu nanti, aku tak sanggup menahan air mata disini. 
      Setelah menyalaminya sebagai tanda aku menghormati ia sebagai laki-laki, lalu ia membiarkanku masuk ke dalam rumah. Juga tanpa komentar. 
       Aku memikirkan ucapannya semalaman. Di dalam kamar mungilku, dipenuhi boneka-boneka yang selama ini ia hadiahkan untukku. Aku menatap satu-satu, penuh kenangan pada setiap boneka itu. Misalnya saja, saat ia memenangkan pertandingan futsal, sedikit ia sisihkan untuk membelikan aku boneka. Saat aku berulang tahun, saat ia memiliki rezeki dari hasil pekerjaan lepas, ataupun saat tidak sengaja kami berjalan-jalan dan ia melihat boneka lucu lalu membelikannya untukku. 
       Mungkin, ia masih bisa melakukan itu di Jepang, tentunya via pos. Namun terlebih pada maksudku adalah ia berada disampingku. Dan boneka-boneka itu tetap tak mampu menggantikan senyumnya. Berapa kali atau berapa banyak pun jumlah bonekanya tetap tak akan mengubah tangis ini. 
        Di malam kedua sejak ia mengatakan akan pergi ke Jepang, aku memintanya bertemu di antara pepohonan, di bawah bulan dan bintang, di tempat di mana kami selalu ditemani dua buah kelapa muda. Sebelum memulai, aku mencoba menahan kebersamaan dengan menyeruput air kelapa hingga habis, mengkorek dagingnya sampai tak bersisa. Satu-satu kuperhatikan sudutnya. Semoga tak ada yang tersisa, batinku. 
        “Baiklah. Adik ikhlas.”
        “Jadi, dik akan menunggu abang?”
        “Tidak, dik ikhlas mengakhiri.”
        “Maksudnya?” wajahnya dan wajahku selintas sama, sama-sama raut ketakutan, sama-sama bimbang, sama-sama kalut, sama-sama….
        “Kita putus.”
       “Jadi…” ia menatapku dengan heran. Matanya seakan ingin basah, tapi sekali lagi ia menahannya karena ia sadar bahwa ia seorang laki-laki. Lalu ia berdengus menarik napas satu hingga beberapa kali. Ditepuknya nyamuk yang sesekali membuat malam semakin terlihat malam, membuat angin semakin terasa angin, dingin. 
        “Maksud dik, kita… berakhir?”
        Lalu aku menatapnya penuh keseriusan membalas tatapannya yang juga penuh keseriusan sembari berkata,            “kita putus jarak, bukan putus hubungan, bukan putus komitmen. Kita hanya akan saling memahami. Dan dik tidak mungkin bisa berpisah dari abang. Sesuai komitmen, apa pun yang terjadi dik adalah abang dan abang adalah dik.”
        “Jadi….”
        “Pastinya dik hanya bercanda tadi. Ha…ha…ha….”
      Lalu kami tertawa bersama-sama sambil ia juga menghabiskan kelapa muda di depannya dengan penuh semangat yang membara.


Kepada Motivatorku, khair
Serambi KOMPAK, 2010.
Medan Bisnis, 23 Januari 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Beri komentar yang Membangun

Sayum Sabah in Write n Fun

Sayum Sabah in Write n Fun
KOMPAK is The Best

Incar...

Incar...
Medan Bisnis, B'Gaul

Karya sekaligus Cerpen pertama yang keluar di koran

Karya sekaligus Cerpen pertama yang keluar di koran
Medan Bisnis, B'Gaul

Holiday in Fun Tri

Holiday in Fun Tri
Riahhhh" n FREN"