Yathrib bin Mahlaeil
Ria Ristiana Dewi
Seorang anak yang hidup tanpa ayah dan ibu─yang mampu bertahan hidup dan menjadi anak ajaib. Seorang anak yang tak pernah mengeluh dan bertanya pada Tuhannya kenapa aku dilahirkan menjadi seorang anak namun tanpa ayah dan ibu.
Ini perihal kehidupan anak manusia. Tentang pesan-pesan abadi yang ingin Allah tuturkan. Ia, seorang anak yang membisu di sudut rintik-rintik, yang berjalan menyusuri gerimis─menembus cahaya matahari. Ia adalah titipan Ilahi. Di sana batinnya termangu menatap langit sembari tidur-tiduran mencari rasi bintang berwajah ayah dan ibunya. Ia, Muhammad dan bila di deretan padang Masyar−namanya dipanggil untuk urutan awal dengan wajah berbinar-binar sebab hatinya putih karena telah dicuci bersih kemarin di bumi Allah.
“Lalu… ibu, apakah Rasulullah selalu menangis?”
“Anakku, Rasulullah bahkan tak pernah mengeluhkan hal itu.”
***
Yatrib Bin Mahleil. Nama itu diberikan abinya yang berasal dari Mesir─buah persinggahan ayah dan ibunya saat berada di Madinah. Entahlah… apakah karena kota penuh sejarah cinta terhadap Rasulullah sebab ayah dan ibunya begitu mencintai Rasulullah. Begitulah sang bibi bercerita padanya. Namun, abinya itu telah meninggal bersama ibunya saat kecelakaan pesawat menuju Indonesia. Saat itu usianya masih delapan tahun. Dan tangisnya terdengar hingga surga.
Ia kini tinggal bersama bibinya, namun sehari-hari ia memanggil sang bibi dengan sebutan ibu. Ia merasakan bahwa bibinya itu seperti ibu kandungnya sendiri. Sang bibi itulah yang selalu memperkenalkan Muhammad kepadanya agar ia tak larut dalam kesedihan karena sesungguhnya kehidupan Nabi Muhammad juga tanpa ayah dan ibu.
Ia merindukan ibunya, abinya. Ia selalu menatap langit itu, selalu setiap malam dipenuhi bintang dan dikatakannya bintang-bintang itu salah satunya adalah ayah dan ibu yang mana mereka mengelilingi bintang terbesar, Muhammad SAW.
Mahlaeil! Begitulah ia dipanggil. Beranjak matahari yang mulai menggagahi bumi, hujan gerimis di semesta sang fajar perlahan tidur di angkasa. Sinar mengalahkan sejuta rintik hujan. Dan di balik jendela kayu jati, air merembes pelan beserta bulir-bulir bagai linangan air mata langit tumpah membasahi. Hamparan sawah terlihat oleh Mahleil di balik jendela itu. hijau memenuhi daratan hingga mengindahkan air sungai mengalir lembut, genangan pula di beberapa waduk pendesaan.
Mahleil dilahirkan di Mesir, namun kini ia diasuh bibinya di sebuah desa mungil dengan penduduk hanya sekitar dua ribu orang. Usianya mulai beranjak tiga belas tahun, namun sikapnya sehari-hari sudah seperti usia dewasa. Ini karena setiap hari ia harus berdagang membantu bibinya. Mereka hanya tinggal berdua. Sang bibi adalah seorang penjual kue keliling yang selalu mensyukuri kehidupannya. Begitupun ia juga menyempatkan diri menyantuni Mahlaeil hingga sekarang. Namun, belakangan bibi sering sakit-sakitan dan Mahlaeil rela bolos sekolah demi membantu bibinya menjual kue bahkan di usianya yang masih belia.
Pagi sekali ia berangkat dari rumah. Bibi akan memasak dua jenis kue di rumah dan jenis yang lainnya akan diambil dari beberapa tetangga yang juga menjual kue, namun enggan berkeliling. Dengan penuh keikhlasan, Mahlaeil berkeliling desa menjual kue-kue tersebut. Tak ia pikirkan lagi bagaimana masa depannya. Yang ia tahu bibi kesayangannya sedang sakit, satu-satunya orang tua yang ia miliki saat ini. Setiap berjualan ia selalu ingat nasihat-nasihat sang bibi agar apapun yang terjadi harus tetap bersabar dan bersyukur. Begitulah Mahlaeil tumbuh menjadi anak yang dewasa lebih dini.
Begitulah….
Madinah juga pernah tak luput dengan kondisi kering-kerontang. Debu berterbangan di setiap tempat, seperti kabut tipis yang dimainkan angin. Butirannya panas serupa bara ketika memercik wajah, ngilu serta perih ketika bersarang pada sudut mata. Pelepah kurma beranggas-ranggas dengan buahnya berjuntai-juntai mendekati ranum. Sumur-sumur dan kolam air tinggal di kubangan tanah merekah yang merana dan sepi. Namun, Madinah tetap dikatakan tanah yang penuh catatan cinta. Karena seberapapun kesulitan yang dialami wilayah itu akan menjadi subur kala Rasulullah selalu diingat dan ditiru akhlak baiknya.
Di sinilah tanah Mahlaeil, tanah penuh kesuburan itu. Bukan Madinah, namun seakan cinta justru kering-kerontang di tempat ini. Namun, Mahlaeil ingin membuktikan hal lain. Hari ini wajah langit pucat pasi. Menghentikan langkah Mahlaeil untuk terus berkeliling. Ia berteduh di bawah beranda rumah ataupun toko kecil sekitar desa. Selama menunggu hujan reda, Mahlaeil mengambil buku yang selalu dibawanya dan sela itulah ia mulai membaca. Kemauannya membuat ia tak kalah ketinggalan informasi pelajaran, selalu dibuatnya situasi memungkinkan. Hari ini ia membaca buku tentang Muhammad. Buku itu dihadiahkan salah seorang gurunya. Matanya bergerak-gerak dengan serius, wajahnya jatuh ke permukaan kata-kata dan pikirannya tumpah pada kisah perjuangan Muhammad. Air berbulir-bulir jatuh menggenang di kelopak mata, sayup-sayup berkecamuk pada dada seakan Muhammad begitu dekat pada dirinya. Muhammad selalu berdagang dengan kejujuran, tak pernah ia mengakali pembeli dagangannya dan selalu didoakannya para pembeli pula senantiasa mensyukuri pemberian Allah.
“Muhammad…,” serunya pelan ditemani suara rintik hujan yang perlahan berduyun-duyun deras. Air matanya tak terbendung lagi, jatuh bercampur pada air yang menggenang di sepanjang jalanan.
“Muhammad tak pernah mengkhawatirkan kemiskinan, ia sungguh sayang pada setiap orang bahkan pada yang telah mencacinya ataupun melancarkan fitnah dan adu domba. Ia selalu percaya akhirnya kebaikan akan menampakkan diri ke permukaan. Muhammad memiliki ayah seorang pedagang yang giat, ibunya seorang wanita santun, dan kakeknya adalah orang yang dihormati serta memiliki kedudukan cukup tinggi di kalangan bangsa Quraisy. Namun, setelah orang-orang yang dicintainya itu meninggal Muhammad selalu mendapatkan pula kasih sayang dari pamannya. Ia adalah seorang anak yang tak ingin mengukur seberapa kasih sayang untuk dirinya, namun ia selalu ingin memberikan kasih sayang pada orang lain. Jadi, demikian cinta Muhammad bahkan melebihi cinta manusia yang lain.”
Masih di beranda toko, Mahlaeil yang masih merenungkan kata-kata bibinya akibat hujan mengguyur, kini tersentak kagum lalu menyimpan buku di tangan ke dalam tas yang dibawanya. Air satu-satu habis dimakan cahaya, langit masih malu-malu bersinar. Saatnya bagi Mahlaeil melanjutkan perjalanan menjual kue.
“Kue… kue… kue….”
Dalam perjalanan, tampak dengan sorotan dari jauh tas ransel masih dipikulnya berisi buku-buku, minuman, makanan untuk menu istirahatnya di tengah perjalanan. Setelah membaca buku tadi, kini wajahnya bersinar-sinar, hatinya cemerlang dan semangat membara bagai api meluap-luap siap memberi energi.
“Kue!”
Mahlaeil berhenti mendengar suara itu. Ia melihat lambaian tangan. Ah… pelanggan, begitulah langkahnya berjalan senang berkecipak pada becek air bercampur Lumpur. Pelan-pelan ia mengangkat kaki agar tak mengotori pakaiannya.
“Berapa satu kuenya, dek!”
“Lima ratus, Mbak!”
“Wah… murah ya padahal besar-besar, kamu ambil untung berapa?”
“Begini Mbak, kue ini sudah cacat sedikit karena saya tidak sengaja menekannya dengan tangan sewaktu duduk di beranda menunggu hujan reda. Jadi, saya jual lebih murah.”
“Masyaallah…. Ya sudah gak apa Dek, biar Mbak bayar seperti harga semula saja. Kasian kamu sudah lelah seharian, kan?”
“Alhamdulillah, Mbak! Mbak baik sekali. Semoga dibalas oleh Allah SWT.”
“Tidak apa, lagian kamu sudah jujur pada Mbak. Jagalah kejujuran itu ya….”
Mahlaeil menyalami pelanggannya dan mengucapkan terimakasih. Ia ingat kejujuran Nabi Muhammad dalam berdagang seperti yang selama ini diceritakan bibinya. Perasaannya semakin damai, jantungnya berdetak kencang dan hati pun berbunga-bunga. Tak lupa ia mendoakan pelanggannya agar mendapat kenikmatan pada kue-kue itu. Kali ini ia melihat lagi dagangannya. Tinggal beberapa kue. Hari masih setengah sore dan jika ia terus berjalan di sepanjang desa, ia yakin akan menghabiskan kue-kue itu. Namun, sebelumnya adzan pertanda shalat ahsar telah tiba. Mahlaeil memutar haluan ke surau dekat situ. Surau yang sudah sangat tua, penyangga di sekelilingnya tak tahu sampai berapa lama akan bertahan. Di dalamnya Mahlaeil hanya melihat satu orang sedang khusyuk menjalankan perintah Ilahi, dengan gerakan-gerakan mahir, masih kuat. Padahal, seperti yang Mahlaeil amati usia orang itu sudah cukup tua dan layaknya dipanggil kakek.
Mahlaeil langsung saja mengambil wudhu, tapi sebelumnya ia tak melihat kamar mandi ataupun air pancuran di sekitar surau. Dengan bingung, ditunggunya sang kakek selesai shalat.
“Assalamualaikum, Kek!”
“A… ya… walaikumsalam,” jawab sang kakek heran dan ragu-ragu. Dipandanginya terus Mahlaeil, lalu tiba-tiba ia tersenyum lembut.
“Ada apa, Nak?”
“Begini, saya mau tanya di mana tempat untuk berwudhu?”
“Oh… ya… pergilah ke balik surau ini, di belakangnya ada sebuah sungai yang mengalir.”
“Baiklah, Kek. Terima kasih.”
Mahlaeil paham dan ia langsung menyalami, mengucapkan salam pada sang kakek lalu beranjak cepat ke belakang surau. Pepohonan rimbun mengelilingi Surau itu, tubuhnya besar-besar memberi udara sejuk. Masih ada tetes air satu-satu di antara daun-daun. Mahleil mulai mengekori arah jalan dan ia mulai melihat anak sungai jernih, bersih.
“Wah… bersih…,” katanya masih sendirian.
Setelah sedikit merasakan dingin jernihnya air sungai, Mahlaeil kembali ke surau itu, namun ia tak melihat sang kakek lagi. Dibiarkannya saja, mungkin batinnya mewajari hal itu.
Selesai shalat, entah mengapa Mahlaeil tergesa-gesa kembali ke belakang surau dan diambilnya sedikit air sungai ke tempat air yang dibawanya. Lalu ia melanjutkan perjalanan menjual kue sampai senja telah padam pada malam. Dalam senja itu Mahlaeil mengisi pikirannya lagi-lagi dengan kisah Rasulullah yang diceritakan sang bibi.
“Nak, tahukah…. Rasulullah pernah menghadapi perang. Namanya perang uhud. Ini kisah tujuh puluh luka tanda cinta, Nak! Rasulullah pernah sangat terluka pada perang uhud. Lawannya mengira Rasulullah telah mati. Mereka menganggap bahwa takkan ada lagi yang menolong Rasulullah saat dalam kondisi terhimpit. Sang lawan mengira bahwa para sahabat Rasulullah akan berlari sesuai nurani kemanusiaannya meninggalkan Rasulullah dalam keadaan sekarat. Namun, mereka salah besar. Inilah ia cinta itu. Para sahabat rela berpuluh panah menembus tubuhnya hingga tak dikenali akibat terlalu banyak luka, bahkan ada yang mengobati luka Rasulullah dengan mulutnya menghisap darah yang mengalir di tubuh Rasulullah. Ada lagi yang berjalan memampangkan tubuhnya untuk diguyur pedang dan panah demi keselamatan Rasulullah yang dengan akal sehat sudah tak mungkin lagi terselamatkan. Namun, kecintaan sahabat lebih besar. Mereka bahu membahu menolong Rasulullah hingga akhirnya Rasulullah selamat untuk kemudian masih dapat berjuang kembali di jalan Allah.”
Laeil menangis lagi. Kali ini ini tertunduk menekan perutnya dan meminggirkan tubuh di samping jalan. Sementara ia melihat langit yang begitu luas. Begitu luar biasa Rasulullah, kekasih Allah. Itulah hasil tatapannya kepada langit itu. dan kini dengan hamdallah ia pulang dalam tenang.
“Bagaimana Laeil, pasti capek ya, Nak?” Tanya bibi menyambut Mahlaeil pulang. Dipeluknya Mahlaeil dengan tangis dan diciumnya pipi Mahlaeil.
“Gak, Bu! Oya… Laeil bawa air tadi, gak tahu kenapa Laeil merasa segar setelah meminumnya, jadi Laeil ingat ibu dan mau ibu meminumnya.”
“Air sungai? Dimana?”
“Di belakang surau dekat sekeliling pohon jati arah mau ke desa sebelah, pas di patahan jalannya.”
“Setahu ibu, disitu tidak ada surau, Laeil!”
Sepontan Mahlaeil dan bibi saling pandang memandang. Tak jelas siapa yang salah, tapi Mahlaeil yakin ia melaksanakan shalat di surau itu sekaligus mengambil wudhu di sungai dekat surau.
“Jadi…,” sambung Mahlaeil lagi. “Sang kakek?”
“Kakek katamu, Laeil?”
Mahlaeil langsung terdiam dan bertanya-tanya dalam dirinya, namun ia tak menghiraukan lagi. Baginya yang paling penting adalah pesan kebaikan itu. Ia masih ingat pengorbanan sahabat Rasulullah demi keselamatan Rasulullah dan ia ingin menjadi seperti para sahabat pun seperti yang diajarkan Rasulullah yaitu cinta diluar dugaan. Dan ia mencintai bibinya. Ia adalah harapan bagi kesembuhan bahkan tawa pada bibinya. Ia semakin yakin tentang pesan itu, pesan yang ia tuliskan di salah satu cerpennya tentang sebuah suaru, tentang kakek, tentang sungai jernih yang mengalir di belakang surau. Walaupun bukan fakta seperti permintaan panitia, setidaknya inilah bukti kecintaannya pada bibi. Semoga cerpenku ini mampu memenangkan perlombaan dan uangnya akan kubelikan obat untuk bibi. Amin.
Serambi KOMPAK, Februari 2011NB: Yatrib Bin Mahlaeil : Nama Lama dari Kota Madinah. (www. Google.com, ketik Sejarah Kota Madinah)
Ria Ristiana Dewi
Seorang anak yang hidup tanpa ayah dan ibu─yang mampu bertahan hidup dan menjadi anak ajaib. Seorang anak yang tak pernah mengeluh dan bertanya pada Tuhannya kenapa aku dilahirkan menjadi seorang anak namun tanpa ayah dan ibu.
Ini perihal kehidupan anak manusia. Tentang pesan-pesan abadi yang ingin Allah tuturkan. Ia, seorang anak yang membisu di sudut rintik-rintik, yang berjalan menyusuri gerimis─menembus cahaya matahari. Ia adalah titipan Ilahi. Di sana batinnya termangu menatap langit sembari tidur-tiduran mencari rasi bintang berwajah ayah dan ibunya. Ia, Muhammad dan bila di deretan padang Masyar−namanya dipanggil untuk urutan awal dengan wajah berbinar-binar sebab hatinya putih karena telah dicuci bersih kemarin di bumi Allah.
“Lalu… ibu, apakah Rasulullah selalu menangis?”
“Anakku, Rasulullah bahkan tak pernah mengeluhkan hal itu.”
***
Yatrib Bin Mahleil. Nama itu diberikan abinya yang berasal dari Mesir─buah persinggahan ayah dan ibunya saat berada di Madinah. Entahlah… apakah karena kota penuh sejarah cinta terhadap Rasulullah sebab ayah dan ibunya begitu mencintai Rasulullah. Begitulah sang bibi bercerita padanya. Namun, abinya itu telah meninggal bersama ibunya saat kecelakaan pesawat menuju Indonesia. Saat itu usianya masih delapan tahun. Dan tangisnya terdengar hingga surga.
Ia kini tinggal bersama bibinya, namun sehari-hari ia memanggil sang bibi dengan sebutan ibu. Ia merasakan bahwa bibinya itu seperti ibu kandungnya sendiri. Sang bibi itulah yang selalu memperkenalkan Muhammad kepadanya agar ia tak larut dalam kesedihan karena sesungguhnya kehidupan Nabi Muhammad juga tanpa ayah dan ibu.
Ia merindukan ibunya, abinya. Ia selalu menatap langit itu, selalu setiap malam dipenuhi bintang dan dikatakannya bintang-bintang itu salah satunya adalah ayah dan ibu yang mana mereka mengelilingi bintang terbesar, Muhammad SAW.
Mahlaeil! Begitulah ia dipanggil. Beranjak matahari yang mulai menggagahi bumi, hujan gerimis di semesta sang fajar perlahan tidur di angkasa. Sinar mengalahkan sejuta rintik hujan. Dan di balik jendela kayu jati, air merembes pelan beserta bulir-bulir bagai linangan air mata langit tumpah membasahi. Hamparan sawah terlihat oleh Mahleil di balik jendela itu. hijau memenuhi daratan hingga mengindahkan air sungai mengalir lembut, genangan pula di beberapa waduk pendesaan.
Mahleil dilahirkan di Mesir, namun kini ia diasuh bibinya di sebuah desa mungil dengan penduduk hanya sekitar dua ribu orang. Usianya mulai beranjak tiga belas tahun, namun sikapnya sehari-hari sudah seperti usia dewasa. Ini karena setiap hari ia harus berdagang membantu bibinya. Mereka hanya tinggal berdua. Sang bibi adalah seorang penjual kue keliling yang selalu mensyukuri kehidupannya. Begitupun ia juga menyempatkan diri menyantuni Mahlaeil hingga sekarang. Namun, belakangan bibi sering sakit-sakitan dan Mahlaeil rela bolos sekolah demi membantu bibinya menjual kue bahkan di usianya yang masih belia.
Pagi sekali ia berangkat dari rumah. Bibi akan memasak dua jenis kue di rumah dan jenis yang lainnya akan diambil dari beberapa tetangga yang juga menjual kue, namun enggan berkeliling. Dengan penuh keikhlasan, Mahlaeil berkeliling desa menjual kue-kue tersebut. Tak ia pikirkan lagi bagaimana masa depannya. Yang ia tahu bibi kesayangannya sedang sakit, satu-satunya orang tua yang ia miliki saat ini. Setiap berjualan ia selalu ingat nasihat-nasihat sang bibi agar apapun yang terjadi harus tetap bersabar dan bersyukur. Begitulah Mahlaeil tumbuh menjadi anak yang dewasa lebih dini.
Begitulah….
Madinah juga pernah tak luput dengan kondisi kering-kerontang. Debu berterbangan di setiap tempat, seperti kabut tipis yang dimainkan angin. Butirannya panas serupa bara ketika memercik wajah, ngilu serta perih ketika bersarang pada sudut mata. Pelepah kurma beranggas-ranggas dengan buahnya berjuntai-juntai mendekati ranum. Sumur-sumur dan kolam air tinggal di kubangan tanah merekah yang merana dan sepi. Namun, Madinah tetap dikatakan tanah yang penuh catatan cinta. Karena seberapapun kesulitan yang dialami wilayah itu akan menjadi subur kala Rasulullah selalu diingat dan ditiru akhlak baiknya.
Di sinilah tanah Mahlaeil, tanah penuh kesuburan itu. Bukan Madinah, namun seakan cinta justru kering-kerontang di tempat ini. Namun, Mahlaeil ingin membuktikan hal lain. Hari ini wajah langit pucat pasi. Menghentikan langkah Mahlaeil untuk terus berkeliling. Ia berteduh di bawah beranda rumah ataupun toko kecil sekitar desa. Selama menunggu hujan reda, Mahlaeil mengambil buku yang selalu dibawanya dan sela itulah ia mulai membaca. Kemauannya membuat ia tak kalah ketinggalan informasi pelajaran, selalu dibuatnya situasi memungkinkan. Hari ini ia membaca buku tentang Muhammad. Buku itu dihadiahkan salah seorang gurunya. Matanya bergerak-gerak dengan serius, wajahnya jatuh ke permukaan kata-kata dan pikirannya tumpah pada kisah perjuangan Muhammad. Air berbulir-bulir jatuh menggenang di kelopak mata, sayup-sayup berkecamuk pada dada seakan Muhammad begitu dekat pada dirinya. Muhammad selalu berdagang dengan kejujuran, tak pernah ia mengakali pembeli dagangannya dan selalu didoakannya para pembeli pula senantiasa mensyukuri pemberian Allah.
“Muhammad…,” serunya pelan ditemani suara rintik hujan yang perlahan berduyun-duyun deras. Air matanya tak terbendung lagi, jatuh bercampur pada air yang menggenang di sepanjang jalanan.
“Muhammad tak pernah mengkhawatirkan kemiskinan, ia sungguh sayang pada setiap orang bahkan pada yang telah mencacinya ataupun melancarkan fitnah dan adu domba. Ia selalu percaya akhirnya kebaikan akan menampakkan diri ke permukaan. Muhammad memiliki ayah seorang pedagang yang giat, ibunya seorang wanita santun, dan kakeknya adalah orang yang dihormati serta memiliki kedudukan cukup tinggi di kalangan bangsa Quraisy. Namun, setelah orang-orang yang dicintainya itu meninggal Muhammad selalu mendapatkan pula kasih sayang dari pamannya. Ia adalah seorang anak yang tak ingin mengukur seberapa kasih sayang untuk dirinya, namun ia selalu ingin memberikan kasih sayang pada orang lain. Jadi, demikian cinta Muhammad bahkan melebihi cinta manusia yang lain.”
Masih di beranda toko, Mahlaeil yang masih merenungkan kata-kata bibinya akibat hujan mengguyur, kini tersentak kagum lalu menyimpan buku di tangan ke dalam tas yang dibawanya. Air satu-satu habis dimakan cahaya, langit masih malu-malu bersinar. Saatnya bagi Mahlaeil melanjutkan perjalanan menjual kue.
“Kue… kue… kue….”
Dalam perjalanan, tampak dengan sorotan dari jauh tas ransel masih dipikulnya berisi buku-buku, minuman, makanan untuk menu istirahatnya di tengah perjalanan. Setelah membaca buku tadi, kini wajahnya bersinar-sinar, hatinya cemerlang dan semangat membara bagai api meluap-luap siap memberi energi.
“Kue!”
Mahlaeil berhenti mendengar suara itu. Ia melihat lambaian tangan. Ah… pelanggan, begitulah langkahnya berjalan senang berkecipak pada becek air bercampur Lumpur. Pelan-pelan ia mengangkat kaki agar tak mengotori pakaiannya.
“Berapa satu kuenya, dek!”
“Lima ratus, Mbak!”
“Wah… murah ya padahal besar-besar, kamu ambil untung berapa?”
“Begini Mbak, kue ini sudah cacat sedikit karena saya tidak sengaja menekannya dengan tangan sewaktu duduk di beranda menunggu hujan reda. Jadi, saya jual lebih murah.”
“Masyaallah…. Ya sudah gak apa Dek, biar Mbak bayar seperti harga semula saja. Kasian kamu sudah lelah seharian, kan?”
“Alhamdulillah, Mbak! Mbak baik sekali. Semoga dibalas oleh Allah SWT.”
“Tidak apa, lagian kamu sudah jujur pada Mbak. Jagalah kejujuran itu ya….”
Mahlaeil menyalami pelanggannya dan mengucapkan terimakasih. Ia ingat kejujuran Nabi Muhammad dalam berdagang seperti yang selama ini diceritakan bibinya. Perasaannya semakin damai, jantungnya berdetak kencang dan hati pun berbunga-bunga. Tak lupa ia mendoakan pelanggannya agar mendapat kenikmatan pada kue-kue itu. Kali ini ia melihat lagi dagangannya. Tinggal beberapa kue. Hari masih setengah sore dan jika ia terus berjalan di sepanjang desa, ia yakin akan menghabiskan kue-kue itu. Namun, sebelumnya adzan pertanda shalat ahsar telah tiba. Mahlaeil memutar haluan ke surau dekat situ. Surau yang sudah sangat tua, penyangga di sekelilingnya tak tahu sampai berapa lama akan bertahan. Di dalamnya Mahlaeil hanya melihat satu orang sedang khusyuk menjalankan perintah Ilahi, dengan gerakan-gerakan mahir, masih kuat. Padahal, seperti yang Mahlaeil amati usia orang itu sudah cukup tua dan layaknya dipanggil kakek.
Mahlaeil langsung saja mengambil wudhu, tapi sebelumnya ia tak melihat kamar mandi ataupun air pancuran di sekitar surau. Dengan bingung, ditunggunya sang kakek selesai shalat.
“Assalamualaikum, Kek!”
“A… ya… walaikumsalam,” jawab sang kakek heran dan ragu-ragu. Dipandanginya terus Mahlaeil, lalu tiba-tiba ia tersenyum lembut.
“Ada apa, Nak?”
“Begini, saya mau tanya di mana tempat untuk berwudhu?”
“Oh… ya… pergilah ke balik surau ini, di belakangnya ada sebuah sungai yang mengalir.”
“Baiklah, Kek. Terima kasih.”
Mahlaeil paham dan ia langsung menyalami, mengucapkan salam pada sang kakek lalu beranjak cepat ke belakang surau. Pepohonan rimbun mengelilingi Surau itu, tubuhnya besar-besar memberi udara sejuk. Masih ada tetes air satu-satu di antara daun-daun. Mahleil mulai mengekori arah jalan dan ia mulai melihat anak sungai jernih, bersih.
“Wah… bersih…,” katanya masih sendirian.
Setelah sedikit merasakan dingin jernihnya air sungai, Mahlaeil kembali ke surau itu, namun ia tak melihat sang kakek lagi. Dibiarkannya saja, mungkin batinnya mewajari hal itu.
Selesai shalat, entah mengapa Mahlaeil tergesa-gesa kembali ke belakang surau dan diambilnya sedikit air sungai ke tempat air yang dibawanya. Lalu ia melanjutkan perjalanan menjual kue sampai senja telah padam pada malam. Dalam senja itu Mahlaeil mengisi pikirannya lagi-lagi dengan kisah Rasulullah yang diceritakan sang bibi.
“Nak, tahukah…. Rasulullah pernah menghadapi perang. Namanya perang uhud. Ini kisah tujuh puluh luka tanda cinta, Nak! Rasulullah pernah sangat terluka pada perang uhud. Lawannya mengira Rasulullah telah mati. Mereka menganggap bahwa takkan ada lagi yang menolong Rasulullah saat dalam kondisi terhimpit. Sang lawan mengira bahwa para sahabat Rasulullah akan berlari sesuai nurani kemanusiaannya meninggalkan Rasulullah dalam keadaan sekarat. Namun, mereka salah besar. Inilah ia cinta itu. Para sahabat rela berpuluh panah menembus tubuhnya hingga tak dikenali akibat terlalu banyak luka, bahkan ada yang mengobati luka Rasulullah dengan mulutnya menghisap darah yang mengalir di tubuh Rasulullah. Ada lagi yang berjalan memampangkan tubuhnya untuk diguyur pedang dan panah demi keselamatan Rasulullah yang dengan akal sehat sudah tak mungkin lagi terselamatkan. Namun, kecintaan sahabat lebih besar. Mereka bahu membahu menolong Rasulullah hingga akhirnya Rasulullah selamat untuk kemudian masih dapat berjuang kembali di jalan Allah.”
Laeil menangis lagi. Kali ini ini tertunduk menekan perutnya dan meminggirkan tubuh di samping jalan. Sementara ia melihat langit yang begitu luas. Begitu luar biasa Rasulullah, kekasih Allah. Itulah hasil tatapannya kepada langit itu. dan kini dengan hamdallah ia pulang dalam tenang.
“Bagaimana Laeil, pasti capek ya, Nak?” Tanya bibi menyambut Mahlaeil pulang. Dipeluknya Mahlaeil dengan tangis dan diciumnya pipi Mahlaeil.
“Gak, Bu! Oya… Laeil bawa air tadi, gak tahu kenapa Laeil merasa segar setelah meminumnya, jadi Laeil ingat ibu dan mau ibu meminumnya.”
“Air sungai? Dimana?”
“Di belakang surau dekat sekeliling pohon jati arah mau ke desa sebelah, pas di patahan jalannya.”
“Setahu ibu, disitu tidak ada surau, Laeil!”
Sepontan Mahlaeil dan bibi saling pandang memandang. Tak jelas siapa yang salah, tapi Mahlaeil yakin ia melaksanakan shalat di surau itu sekaligus mengambil wudhu di sungai dekat surau.
“Jadi…,” sambung Mahlaeil lagi. “Sang kakek?”
“Kakek katamu, Laeil?”
Mahlaeil langsung terdiam dan bertanya-tanya dalam dirinya, namun ia tak menghiraukan lagi. Baginya yang paling penting adalah pesan kebaikan itu. Ia masih ingat pengorbanan sahabat Rasulullah demi keselamatan Rasulullah dan ia ingin menjadi seperti para sahabat pun seperti yang diajarkan Rasulullah yaitu cinta diluar dugaan. Dan ia mencintai bibinya. Ia adalah harapan bagi kesembuhan bahkan tawa pada bibinya. Ia semakin yakin tentang pesan itu, pesan yang ia tuliskan di salah satu cerpennya tentang sebuah suaru, tentang kakek, tentang sungai jernih yang mengalir di belakang surau. Walaupun bukan fakta seperti permintaan panitia, setidaknya inilah bukti kecintaannya pada bibi. Semoga cerpenku ini mampu memenangkan perlombaan dan uangnya akan kubelikan obat untuk bibi. Amin.
Serambi KOMPAK, Februari 2011NB: Yatrib Bin Mahlaeil : Nama Lama dari Kota Madinah. (www. Google.com, ketik Sejarah Kota Madinah)