CERPEN : JANUARI 2011 (waspada, suara pembaruan, medan bisnis)

PUISI TAHUN BARU
Ria Ristiana Dewi

       Dalam deretan tahun ini aku menerima titipan puisi yang begitu panjang. Anggap saja deretan peristiwa yang menggenang dibekuk dalam satu tahun. 
       Tahun ini, aku banyak mendapat pengalaman. Setelah satu tahun menunda ibu akhirnya memutuskan untuk berjualan mie. Sepertinya ia merasa bersalah akibat berhutang banyak kepada pihak bank demi menyekolahkanku. Ibu sampai harus menjadikan rumah sebagai jaminannya. Tahun ini, aku harus tamat kuliah karena tahun esok aku akan menikah, memenuhi amanah ibu dan bapak. Tahun ini, aku harus mendapat gelar dokterku. Dan tahun ini pula aku harus bekerja. Ibu kerap menasehati agar aku tidak lekas memikirkan uang karena ibu yang akan memikirkan. Namun, akhir tahun ini pula hutang-hutang ibu harus segera dibayarkan. Sayangnya, ibu hanya mampu berjualan karena selama ini ayah-lah andalan kami.
       “Puisi merupakan apa yang kau rasakan, lalu kecup dan reguk-lah dalam segala situasi. “ Itulah sedikit potongan kata-kata saat jiwa kutumpahkan dalam secakup buku penebar diksi. Barangkali itu hanya kata-kata, namun didalamnya aku paham banyak nafas kehidupan. Ternyata kehidupan harus dinikmati. Begitulah yang kucoba raba maknanya.
       Aku bukan penulis! Aku calon dokter. Mungkin aku hanya saudagar kata-kata, penyimpan makna, penebar jiwa. Dokter pun mampu berpuisi. Ia akan berpuisi melalui caranya mengobati pasien. Keselamatan pasien adalah segalanya, begitu pun kualitas metafor dan diksi pada puisi menjadi tanggung jawab seorang penyair. Aku berpuisi lewat selaksana cita-cita. Pernah satu kali ibuku memberikan aku satu buah puisi semacam sutil dipasang dengan wajan yang tak kan pernah menjadi hidangan, bila tak tersedia keduanya. Lalu bawang, cabai, minyak makan, telur, dan lainnya sebagai langkah lanjutan bahwa aku sedang mencoba memasang kerangka, semacam aba-aba siap sebelum berpuisi. Namun, aku tidak sedang berpuisi bersebab aku bukan seorang penyair. Aku adalah seorang anak penjual mie, temaku adalah penjual mie, iramaku adalah wajah ibuku, syairku adalah tangan ibuku, bait-baitnya adalah kaki ibuku. Karena ibuku adalah tubuh puisiku. 
       Banyak orang suka berpuisi, cinta pada puisi. Kalau begitu, aku sungguh suka, sayang, cinta pada ibuku. Aku kerap menemani ibu bertempur dengan rempah-rempah, dan wajan, sutil, kompor adalah alat perangnya. Jiwanya difokuskan tercebur menyelam bersama rasa, nikmat telah diramu dan jelas akan memuaskan lidah saat pelanggan ibuku membelinya. Perlahan ia membuang keringat dengan lengannya, sambil merajang bawang, meracik bumbu, ibu terkadang menyanyikan lagu-lagu Ebiet G. Ade. Tentunya dengan volume yang cukup kecil sehingga takkan banyak yang tahu. Terkadang ia bernyanyi pula dari dalam hati.  
       Ibuku berkata, “rasa adalah kunci sukses bisnis, pelanggan pula adalah raja. Jadi, kau betul-betul-lah melayani. Jangan kecewakan pelanggan kita. Kau dengar itu, Cahya!”
       “Ya… Bu!” jawabku jelas sambil masih tertegun membaca deretan kata-kata di salah satu majalah fiksi. Ini yang selalu kulakukan saat akan menemani ibu berjualan. Ibu berjualan tepat di depan gang. Rumahku sendiri berada di dalam gang. Kami menyewa sebuah warung berukuran empat kali empat meter. Setidaknya cukup untuk mencari nafkah setelah ayah meninggal beberapa tahun yang lalu. Syukurlah, dibalik gang ini ada sebuah universitas yang mahasiswanya kerap melongok jajanan di sepanjang jalan sekitar universitas. Jalanannya tidak terlalu luas juga tak terlalu sempit. Cukup ramai pula apabila mahasiswa mulai berganti jam mata kuliah.
       Jika pelanggan sudah mulai ramai barulah aku beranjak dari duduk, menyimpan majalah sembari terhenyak dalam melayani para pelanggan. Ibu akan sangat sibuk memasak mie, lalu aku akan membungkuskan mie tersebut. Kadangkala bila ada yang makan di warung, maka aku bersiap-siap menyediakan minuman. Mulai dari air kosong sampai dengan teh manis dingin, serta berbagai macam jus.
        Ini akan selalu terjadi sepulang kuliah jam satu siang. Lalu, setelah rehat sejenak, mengisi perut di rumah barulah aku membantu ibu berjualan. Dari situ aku belajar banyak racikan dengan ibu. Barangkali ibu mulai mengajarkan ilmunya padaku sedikit demi sedikit. Yah…,resep istimewa ibu benar-benar tak tertandingi.
Jika kau melihat ada seorang pemain sepak bola berposisi sebagai penyerang, ibuku-lah itu dan aku adalah posisi pertahanannya. Sedangkan wasitnya adalah para pelanggan. Jika taktik yang ibu dan aku siapkan di lapangan cukup matang, maka wasit akan meniupkan peluit kemenangannya. Jadi, aku dan ibu adalah satu tim.
       Suasan warung kembali lenggang. Aku dan ibu kali ini beristirahat sejenak duduk di kursi pelanggan. Sementara aku membuka-buka majalah.
        “Cahya…bagaimana kuliahmu, Nak! Lancar, kan!”
        “Iya…, ibu tenang saja. Cahya akan banyak belajar.”
       “Ah…Nak, ibu bersalah. Kenapa kau harus berada disini sementara kau harus belajar di rumah,” kata ibu dengan wajah mendung.
    “Sudahlah, Bu…! Cahya bisa belajar sepulang jualan,” tegasku menyakinkan ibu terlebih untuk menenangkan.
       Jalanan terlihat ramai. Gelap mulai jatuh ke badan bumi sementara burung-burung di langit gelisah. Hujan rintik-rintik menyeret aku kembali termenung tumpah pada majalah fiksi di atas meja. Setelah itu, aku mulai sibuk melayani pelanggan yang satu per satu berdatangan. Mempersiapkan meja agar tetap bersih, mengambil gelas dan piring kotor segera setelah pelanggan selesai makan. lalu membawanya ke cucian piring.
      “Sudah sana kau pulang-lah, shalat sebentar nanti biar gantian dengan ibu,” sambar ibu sewaktu aku sedang mencuci piring di samping warung, dekat dengan bawah pohon yang terletak persis di samping badan jalan pula, parit yang melintang memisahkan tempatku berdiri dengan jalan menjadi wadah pembuangan air kotor bekas cuci piring lantas sampahnya akan dimasukkan ke dalam plastik untuk kemudian di buang ke tempat sampah di pinggiran kota. Biasanya aku dan ibu akan mengendari kereta selama lima menit untuk sampai ke lokasi pembuangan sampah itu. Dan itu baru dapat kami lakukan setelah selesai berjualan tepat jam sebelas malam.
       Suara adzan bergema hebat mengantarkan burung-burung ke sangkarnya, menyerang pula jenakku tuk rehat sementara para pelanggan pula akan menunggu sembari ibu bergantian shalat denganku. Malam tak berarti hambar, justru para awak jualanan ibu mulai berdatangan.
      “Mbak, mie tiaw satu.”
      “Sebentar ya… Mbak, ibu saya sedang shalat,” kataku padanya, salah satu pelanggan.
     Kerumunan jangkrik mulai melantangkan suara, suara motor yang lalu lalang pula semakin semarak, sesekali kilau dari arah badan motor menyentak benakku. Aku menunggu ibu yang belum hadir hingga satu jam lamanya. Seharusnya waktu sudah tidak wajar lagi. Malam mulai gelisah.
      “Mbak, saya bisa nitip warung saya sebentar, mau memanggil ibu saya,” kataku agak ragu-ragu padanya.
      “Baiklah. Jangan lama-lama ya, Mbak!” Katanya ramah hingga membuatku sedikit nyaman.
    Tergopoh-gopoh ku bawa tubuh, kepanikan terjerat di benakku. Seakan malam kian mengancam, jantungku berdegup, batinku terhentak oleh semilir angin yang mengekori langkah kaki. Ku perhatikan rumahku yang tak jauh lagi. Lampu di seluruh ruangan menyala. Pintu tertutup rapat, saat kubuka ternyata tidak terkunci. Ibu pasti di dalam, batinku menyakinkan.
      “Bu…bu…!”
     Tidak ada jawaban. Sunyi senyap pun semakin perkasa, pada ruang tamu aku tak menemukan ibu, kupercepat menuju dapur juga tidak ada. Ah…seharusnya di dalam kamar jika shalat, tapi sudah sejam yang lalu. Aku putar tubuhku ke arah kamar ibu arah ruang depan rumah. Pintu kamar tertutup setengah.
       Krieekkk.
       “Bu…!”
      Tepat. Mataku tepat melihat tubuh ibu sedang bersujud, namun tak ada gerakan lagi. Aku menuju ke tubuhnya.
        “Bu…!” Panggilku pelan seraya mencoba mengoyangkan tubuh ibu.
        Bruukkk.
       Tubuh ibu jatuh tak berdaya, begitu ringkih, rapuh tanpa tanda-tanda kehidupan. Kupasang telunjuk tangan tepat di depan hidungnya. Tidak ada nafas disana.
      Aku berlari, berlari, dan terus berlari menuju keluar rumah. Langkahku berbelok ke rumah Pak Sawiji, tetangga kami. Sampai di depan terasnya aku memencet bel lantas memanggil-manggil penghuni rumah. Nafasku menggantung di tenggorokan, perlahan kuperbaiki hingga menghirup kembali rasa tenang itu.
       “Ada apa Cahya?”
       “Ibu tidak bernafas Pak?
       “Apa? Dimana?”
      “Di rumah. Selesai shalat, dalam keadaan sedang sujud,” kataku sambil terisak-isak. Ibu Sawiji turut menenangkan dengan merangkulku dan mengelus-elus kepalaku.
       “Sabar, Cahya!”
       Aku tak sanggup lagi. Kubiarkan Pak Sawiji yang mengurusnya. Tak sanggup lagi batinku melihat Ibu dalam keadaan seperti itu.
                                                                                            ***
        Setelah ibu pergi. Hutang-hutang masih satu bulan lagi harus dibayar. Sedangkan uang sewa warung juga harus dibayarkan. Syukurnya, uang duka sepeninggalan ibu cukup untuk memenuhi semua itu. Tapi, aku tak tahu apakah akan melanjutkan kuliah dan apakah aku dapat menikah tahun esok.
     Tanpa pikir panjang, kuputuskan untuk berjualan sendirian. Tidak kusangka, alangkah sulitnya mendapatkan rasa seperti rasa yang ibuku buat. Aku tak pandai meramu, meracik seperti ibu. Aku tak lihai selihai ibu, dan tentu saja aku tak dapat bernyanyi seperti ibu bernyanyi di kala lelah merubung tubuh dan pikirannya. Aku begitu lelah. Baris hidupku jadi semakin runyam, iramanya sudah tak seindah irama yang ibu ciptakan, bait-baitnya telah banyak amburadul.
        Puisi itu telah lenyap.
       Tapi aku pula bukan seorang calon dokter lagi, entah bagaimana aku menyambung nafas sementara di tanganku hanya ada alat perang tanpa awaknya. Hanya ada kertas tanpa penanya. Hanya ada kata-kata namun tanpa ilmu, tanpa semangat lagi.
        Tahun Baru tiba.
       Suara petasan ada dimana-mana. Aku terdiam beku dalam angin yang terasa angin, dingin. Di bawah bulan dan bintang, diantara pepohonan rindang, kusambut ibu terpatri di langit-langit.
        Ah…semakin malam saja. “Keterlaluan! Aku tak boleh menyerah”
       Aku beranjak ke dalam rumah setelah lama berada di halaman. Lantas aku masuk ke kamar ibu, kosong. Sewaktu aku meremas kenangan ibu di dalam kamar, malam sebelum esok akan dimakamkan, aku melihat secarik kertas berisi resep masakan ibu. Resep rahasia yang dahulu pernah ibu pesankan agar aku bawa dan kupelajari setelah ia meninggal nanti. Kelak, ia ingin aku meneruskan perjuangannya. Aku simpan, aku siap meneruskan perjuangannya.
        Bila seorang penyair mengatakan bahwa dalam puisi harus ada makna yang dibuahkan, maka ibuku adalah sosok sarat makna itu. Melalui mata katupnya ibu berpesan semangat juang kepadaku, melalu pipi dinginnya saat aku menyentuh untuk terakhir kali, ia menggenggam cita-citaku, melalui senyum terakhirnya pula ibu seakan mengajarkan hidupku baru dimulai. Dan melanjutkan bait-bait kehidupan yang kelak dititipkannya.
 Di ruang tamu, aku termenung lagi, membaca berkali-kali puisi tentang ibu di salah satu majalah. Itu puisiku, judulnya ‘Ibu’. Aku buatkan untuk ibu khusus di hari ibu, tapi belum sempat ibu membacanya. Sengaja kurenggangkan waktu mengirimnya ke majalah yang selama ini selalu kubaca. Entahlah…,mungkin hanya untuk mencari bait-bait kehidupan di wajahnya.
         Kriiiinggg.
         Masih di ruang tamu, pukul 08.15.
         “Hallo!”
        “Cahya…, ini Abang. Abang mau bilang tahun esok tepat empat puluh hari ibumu. Tanggal 23 januari 2011 ibu telah menyetujui pernikahan kita.
         “Benarkah?” Tanyaku tentu dengan rasa senang, kebahagiaan yang menjadi-jadi.
      “Cahya…, abang mau kau tak menganggap kalau kau sendiri sekarang ini. Nanti kita pikirkan lagi kuliahmu. Tenanglah…!”
         “Jadi…”
         “Jadi, kau hanya perlu mempersiapkan mental sebagai istriku.”
        Telpon tertutup. Pembicaraan selesai. Aku bahagia. Puisi tahun baruku telah hadir, calon suamiku. Ia akan menjadi temaku, ia adalah irama hidupku, ia juga yang akan menyambung tiap bait-baitnya.

                                                                                                 Serambi KOMPAK, lepas Tahun 2010
                                                                                                 Suara Pembaruan, 9 Januari 2011. 


BULAN BIRU
Ria Ristiana Dewi

       Tepat pada malam yang ditemani bulan purnama, wajahnya menganga di bawah langit. Senyumnya terpatri di awan hitam, hati pun senyap, ruh berkeliaran mencari raga. Raganya terpatung seakan ada kutukan dibuat para awak angkasa, cerah kornea tak kedip sekali pun itu “bersebab bulan hari ini serupa bidadari,” katanya berkomat-kamit berbicara pada angin, berbicara pada jangkrik, berbicara pada burung hantu yang sejak tadi termenung pula melihat kelakuanya. 
       Bulan yang indah dan waktu yang sempurna. Banyak orang yang penasaran sebab Mark Hammergren yang biasanya dipanggil Mark ini mulai berbicara sendiri pada bulan. Orang-orang di sekeliling Mark bilang bahwa Mark mulai bertingkah aneh akhir-akhir ini. Mark sendiri mengaku bahagia karena akhirnya bulan purnama jatuh memenuhi ruang bumi. Serupa anak itik kehilangan entok, Mark dengan mata berbinar dan senyum melebar turut menyambut langit yang terlampau cerah hari ini.
       “Turun kau, Mark! Mark Hammer-gren!”
       Tapi Mark hanya diam di atas atap rumah, sewaktu istrinya memanggilnya dari bawah menjeritkan nama menyuruhnya turun. Karena Sri Martini yang biasa dipanggil Tini ini sudah merasa cukup menanggung malu atas gunjingan para tetangga akibat tingkah aneh Mark yang setiap malam jum’at akan naik ke atas atap sekedar melihat bulan biru, tidak hanya itu karena ia pun ternyata kerap menjerit-jerit sambil bernyanyi sehingga menggangu pendengaran para tetangga.
       “Puas kau, Mark! Membuatku malu bertubi-tubi,” sambar Tini sewaktu Mark turun dari atas atap. Ia tak melihat mata istrinya yang melotot ke arahnya, sambil senyum-senyum ia masuk ke dalam rumah lalu ke dalam kamar, langsung di seretnya selimut di sekujur tubuh, tak perduli perlu atau tidak untuk mencuci kaki dan wajahnya sehabis naik dari atap tadi.
      “Sudah cukup bersabar aku sebagai istrimu, kalau bukan karena ayah dan ibu sudah minta cerai aku,” sergap Tini lagi dengan jemu yang menjadi-jadi. Lantas diikutinya Mark ke dalam kamar, dilihatnya mata Mark telah terkatub.
       “Sudah tidak sabar aku,” keluhnya datar sambil mengambil selimut yang menutupi tubuh Mark, namun Mark tetap tak membuka matanya. Tini pun memilih menyeret selimut itu dan satu bantal serta gulingnya ke luar kamar. Dipilihnya untuk tidur di luar pada sofa panjang di depan TV. Sengaja dibiarkannya lampu mati sehingga hanya tinggal kelap-kelip yang menyoroti wajahnya.
        Ini sudah lima tahun pernikahannya. Pernikahan tanpa cinta, tanpa keinginannya ataupun suaminya. Ya…, mereka dijodohkan. Entah bagaimana Tini mau saja saat perjodohan itu. Namun, Mark sempat menolak berkali-kali sebelum akhirnya Ayah Mark terkena penyakit jantung dan terpaksa ia harus menuruti keinginan orang tuanya itu. Ayah Mark adalah pengusaha asal Jombangan, Jawa Timur sedangkan Ibunya adalah seorang pekerja di kantor diplomat Amerika Serikat yang kemudian menetap di Surabaya menjadi warga negara Indonesia setelah menikah dengan ayah Mark. Setelah Mark berusia sepuluh tahun, ibunya meninggal. Mulai dari situ-lah Mark sering menjadi diam. Ayahnya berupaya menyembuhkan keanehan yang terjadi pada Mark dengan membawanya ke dokter bahkan psikolog. Dokter hanya mengatakan bahwa Mark sehat dan butuh lebih banyak refreshing sedangkan psikolog bilang Mark hanya perlu lebih banyak perhatian.
       Itu dahulu, sebelum akhirnya ia bertemu Bulan Biru, wanita asal Medan, Sumatera Utara. Mark bertemu dengannya saat di bangku kuliah, merupakan salah satu kampus di kota Surabaya. Bulan Biru sendiri kuliah di Surabaya lewat pertarungan sengit masuk perguruan tinggi negeri hingga akhirnya bertemu dengan Mark yang berwajah oriental, rada culun, raut bingung, padahal pintar. Orang-orang di kampus hanya tahu Mark kerap berdiam diri, sembari belajar pun hanya satu dua kata yang melontar dari mulutnya bersama teman-teman. Wajah oriental itu membuat Mark tidak sulit untuk dikenali. Itu pula yang membuat Bulan Biru tertarik dengan kepribadian Mark sehingga entah bagaimana mereka mulai akrab, sering dipergoki jalan berdua saat di kampus. Mark mengambil jurusan yang sama dengan Bulan Biru yaitu jurusan astronomi. Ini-lah yang memudahkan Bulan Biru menyelami kepribadian Mark, mereka sama-sama memiliki hobi membaca buku – buku fiksi pula buku-buku berbau astronomi. Biasanya di bawah pohon sekeliling kampus, mereka menghabiskan segala obrolan itu.
       Sesekali Mark membicarakan masalah hati. Lantas Bulan Biru akan merasa tersanjung. Bulan Biru mulai menjadi arah setir Mark. Ia mulai mendapatkan perhatian lebih hingga akhirnya mereka berpacaran. Banyak yang mengatakan bahwa kenapa Bulan Biru, wanita sederhana asal Sumatera Utara namun berwajah surga menghabiskan hati dan pikirannya untuk seorang pendiam yang kerap dicap ‘aneh’ oleh teman-temannya.
       Berbeda pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Mark yang terkenal kaya raya dan akan mewarisi perusahaan keluarganya itu seharusnya enggan didampingi wanita dari keluarga sederhana. Bahkan, bisa dikatakan prihatin sebab di Medan ayah Bulan Biru hanya seorang tukang becak. Namun, beruntunglah Bulan Biru yang memiliki kecerdasan mampu mendapatkan beasiswa hingga tamat kuliah.
      Itu-lah pendapat orang-orang, namun yang paling penting adalah pendapat Ayah Mark yang tidak menyetujui hubungan mereka. Jelas karena status keluarganya—barangkali karena ayah Mark telah membuat kesepakatan bersama ayah Sri Martini untuk membuat perjodohan. Masalahnya perusahaan keluarga.
       Jadi-lah Mark menikah sebagaimana ayah Mark mencoba segala cara untuk menyingkirkan Bulan Biru. Yah…, Bulan Biru hilang didengar Mark berita yang tersebar bahwa Bulan Biru kembali ke Medan dan telah menikah dengan lelaki lain.
       “Mark! Mark! Bangunlah…!” Suara Tini memecah malam dengan fajar. Ia menggoyang-goyangkan tubuh Mark dengan nada kesal.
       “Apa?” Sambut Mark berang masih sayu-sayup melihat Tini dengan mata khas melotot.
       “Kerja! Kau pikir perusahaan itu mainan? Jangan aku dengar kita bangkrut hanya karena kebodohanmu.”
Tini keluar kamar Mark dengan omelannya. Lalu ia memutar arah ke dapur dan mencari-cari Mbok.
       “Mbok, makan sudah siap?”
       “Ya…ya, Nya! Sudah,” jawab Mbok tertatih dari arah dalam dapur.
Dari dalam kamar, Mark keluar dengan pakaian rapi, berdasi. Disisirnya rambut bergaya cepak hitam memakai minyak.
      “Makanlah,” sambut Tini di meja makan. Letaknya di depan jendela arah taman yang berada di dalam rumah, akan ada beberapa bunga dengan pot-pot antik di samping kanan-kirinya. Masih di dekat pintu menuju keluar ruangan santai, dengan malas Mark menggeret kursi sedikit lalu duduk. Kursi di meja makan itu tersedia untuk empat orang, namun mereka hanya mengisinya berdua setiap hari karena memang mereka belum dikarunia seorang anak pun.
      Perlahan Tini mulai akan mengambilkan nasi untuk Mark. Namun, ia mengurungkannya. Ia enggan mendengar keluh Mark setiap diambilkanya nasi. Pernah sekali itu Mark mencacinya tidak pandai memasak, tidak mampu merawat rumah, belum lagi tidak mampu memberikannya seorang anak. Begitu pun, walau Tini kerap cerewet ia tetap menghormati Mark sebagai suaminya. Terbukti dengan masih setianya ia mendampingi Mark sampai-sampai berusaha memperhatikan masalah pekerjaan dan menu makan kesukaan Mark.
                                                                                          ***
       Pukul 23.46. WIB
      Mark terduduk lagi di bawah bulan, kali ini bukan bulan biru. Namun, ia tetap setia dan percaya akan hadirnya bulan biru persis di tahun baru. Ia ingat percakapannya dengan Bulan Biru di bawah pohon pekarangan kampus dahulu. Sambil membuka-buka buku astronomi, tiba-tiba Mark menunjukkan selembar kertas berisi fenomena bulan biru di hadapan Bulan Biru kala itu.
        “Lihat!”
        Bulan Biru membaca baris kata-katanya begitu hikmat.
      Bulan biru pada masa kekinian diartikan dengan ”sekarang dan sesaat lalu”. Bulan biru pada malam pergantian tahun tentu memikat minat masyarakat dunia untuk menikmati keindahannya. Sayang, ”birunya” bulan biru malam lalu hanya dapat disaksikan oleh penduduk di Amerika Serikat (AS), Kanada, negara-negara Eropa, Amerika Selatan, dan Afrika, tetapi tidak di Australia dan Asia.

       Bulan yang indah dan waktu yang sempurna. Tentu banyak orang yang penasaran akan kemunculan bulan biru tepat pada malam Tahun Baru 2010. Mark Hammergren, pejabat Planetarium di Chicago, Illinois, menyatakan bulan biru tidak ada sangkut pautnya dengan astronomi.(*)
 

       “Bagaimana?” Tanya Mark sambil menatap sebelah wajah Bulan Biru yang masih terhenyak pada lembaran itu.
         “Kebetulan,” jawab Bulan Biru sambil menatap kembali Mark.
        “Kalau begitu kebetulan aku mencintaimu dan kebetulan kita bertemu. Aku akan menikahimu tahun esok, tanggal 1 Januari 2011. Aku sudah memperhitungkan bahwa bulan biru akan hadir 12 kali dalam satu tahun. Sekarang ini aku sudah menghitung 10 kali, kalau begitu 2 kali yang tersisa. Perkiraanku Bulan Biru akan hadir tepat tanggal satu.”
       “Mark, kau gila!” Tahan Bulan Biru sedikit mendung. Padahal Bulan Biru dan Mark sudah tahu kalau pada tanggal itu Bulan Biru sudah akan pergi dari Surabaya.
       “Ini sudah dua bulan lagi kepergianku.”
       “Lalu? Kau pikir aku perduli.”
       Itu saja! Mark mengenang percakapan 5 tahun yang lalu itu dengan sangat tepat—barangkali persis.
                                                                                            ***
       Bulan Biru tidak pernah ada pada tanggal 1 Januari 2011. Yah…, karena tepat sekarang ini, tanggal 1 Januari 2016 Bulan Biru itu baru hadir. Setelah mendengar pengakuan istrinya, sambil menatap langit yang penuh petasan Mark menarik tangan istrinya dan memeluk dengan erat. Seketika ia lepas lagi lalu menjerit sambil menghentak-hentakkan gumpalan tangan dengan sikut ditekuk ke dada.
       “Yach….Yes…Yess….Aku akan punya anak, Mark Hammergren akan punya anak. Dengar, Tini! Aku akan menamakannya Bulan Biru. Ha…ha…ha…”
       Tini hanya senyum-senyum dan turut menurut saja saat kemudian Mark memeluknya lagi dengan lebih erat.

                                                                                                      KOMPAK, Lepas Tahun 2010
                                                                                                      Rentak, Medan Bisnis, 2 Januari 2011 


(*) Sumber: http://www.indralasmana.co.cc/2010/07/fenomena-blue-moon.html

CATATAN KELAPA MUDA
Ria Ristiana Dewi

        Aku tak pandai bersandiwara. Untuk itulah setiap petikan cahaya berkilau dari arah badan kereta yang lalu lalang selalu menjebak wajahku tersorot oleh matanya. Semua karena aku dan ia terlalu lelah bahkan sangat lelah memikirkan hal yang sama di tiap petikan waktu yang sama pula. Setiap aku mengatakan rindu dan ia mengatakan keinginan untuk mengakhiri jalan ini. Tapi, akhirnya terjerat komitmen. Tak mengapa asalkan demi perjalanan panjang.
        Cerita ini tak ada habisnya tentang laki-laki yang mencintai seorang wanita kemudian derajatnya terangkat dengan penuh kebahagiaan, keindahan, dan keharmonisan.
       Malam itu, dua buah kelapa muda menemani dengan awan yang terlihat hitam dan penuh kantuk akibat aktivitas seharian. Sembari menggenang jam agar kita saling bertukar kisah. Sempat pula kau katakan bahwa pepohonan di taman ini terlihat indah berdiri kokoh melindungi kita dari sinar bintang dan bulan. Dan kau katakan tempat ini baru pertama kali kau kunjungi. Kira-kira aku hanya menambahkan bahwa tempat ini sejuk serupa mimikmu, senyummu.
        Aku terus menatap kedepan sambil ngomel-ngomel namun kau hanya menatapku dari samping. Aku tak berani menoleh agar tak bertemu dengan wajahmu yang kukenal teduh penuh lampiasan rasa, sejuk, menggetarkan.
         “Kalau ada banyak sekali masalah toh abang masih dapat menyelesaikannya dengan hati-hati.”
        “Jika adik percaya kenapa abang tidak,” katamu membenarkan kata-kataku, menyakinkanku bahwa kau paham.
        “Abang bisa terus bercerita,” tambahku menyakinkanmu.
       “Hanya saja sekarang ini abang ingin konsentrasi dengan skripsi. Untuk masalah yang lain tidak ingin abang pikirkan,” jelasmu dan itu membuatku sontak diam. Mungkin komitmen itu masih berlaku hingga aku tak mampu mengelak cerita ini. Aku tak berani mengganggu pikiranmu dengan pikiranku.
      “Apa?” katamu mengagetkan renunganku. Kau menatapku lekat serupa mencari-cari sesuatu yang tersimpan di wajahku.
        “Ah… tidak!” Jelasku lagi masih belum berani melawan matamu. Aku terus dan terus menatap jalanan di depan sambil sesekali berceloteh tentang sepasang insan di atas kereta yang lalu-lalang di depan kami. Memperhatikan lampu-lampu di sekitar taman. Mengalahkan sejuta cahaya bintang dan rembulan.
       “Jadi, abang tidak akan kemana-mana kan?” Kataku turut mengagetkan. Tiba-tiba seakan angin yang menyambar.
        “Kemana? Dik bilang apa?”
        “Kemarin, abang bilang mau ke Jepang?”
        “Ha… ha… ha….”
       Aku terkejut dengan tawamu. Kali ini aku menoleh melihat wajahmu yang terisak tawa bukan kepalang membuatku bertambah malu.
        “Ada-ada saja adik ini. Abang kan gak pandai berbahasa Jepang. Kemarin dik bilang kalau abang gak pandai, jadi gak usah kesana. Iya, kan!”
        Aku hanya tersenyum lalu berkata, “Iya… dik pikir bang serius.”
      “Lagian gak perlu pandai bahasanya dulu kan sebelum ke sana. Abang hanya sedang kalut kemarin sehingga mengatakan itu. Sudah, tidak usah adik pikirkan.”
       Kali ini aku membalas dengan menebar senyum kepadamu. Semoga tiap pipit di pipiku dapat membuatmu juga paham bahwa aku akan diserang badai kerinduan apabila kau jauh bahkan sangat jauh dari tempatku sekarang. Walaupun banyak insan saling mencintai di muka bumi ini bahkan masih tetap setia dan bertahan dengan jarak itu, walaupun mereka kerap mengatakan bahwa yang paling penting itu adalah hati, walaupun mereka mengatakan bahwa jarak merupakan kebahagiaan rindu yang tertunda, aku tetap tak paham, aku tetap akan gundah dan goyah tanpanya di sampingku.
        Setengah jam kemudian, aku kembali menyeruput kelapa mudaku. Dan kau sedang mengorek-ngorek kelapanya dari tempurung. Sesekali kulihat kau menjatuhkan kelapa itu dan aku tersenyum melihat tingkahmu.
       “Dik, kenapa tadi tidak letakkan di gelas saja.”
      “Ah… sudahlah, jangan cerewet. Minum saja. Selamat berjuang, ya!” tambahku mengejeknya dan kembali memilih menyeruput airnya saja.
       Mungkin seperti itulah yang harus kita lalui ke depannya. Menghadapi rintangan hanya untuk memuaskan dahaga, menghadapi hidup beserta cobaannya hanya untuk mencapai kebahagiaan sesungguhnya.
        Hujan rintik-rintik mulai mengganggu malam itu. Langit mulai menunjukkan bahwa dua pasang insan harus mengakhiri jam pembicaraan dengan catatan kelapa muda yang digenggam sampai menjadi memori tak terlupakan. Pasir-pasir tak terlihat, namun menyengat tercium aroma tanah naik ke ruang udara. Segalanya sirna. Perjumpaan sirna, percakapan sirna, kerinduan telah tuntas.
                                                                                                ***
        Minggu besoknya. Di hari yang sama, di tempat yang sama, didampingi dua buah kelapa muda untuk sepasang insan yang dengan sengaja dipertemukan malam. Angin tidak begitu kencang, namun santai seiring senyum keduannya yang pula santai. Bulan dan bintang memaksa cahayanya melampau batas sinar lampu hingga terlihat kelokan di daun-daun begitu indah dipenuhi garis-garis sinar. Kali ini aku menatap wajahmu, kali ini justru aku yang mencari-cari rahasia di mimikmu, bukan senyum, namun serius, seperti besok akan ada badai, seperti besok akan ada tsunami, seperti besok akan ada….
         “Bulan depan abang mau ke Jepang.”
 Kau curang. Kau begitu curang, curang dan curang.
        “Masalah bahasa? Benar, abang tidak perlu dapat berbahasa Jepang. Disana kelak abang akan pandai, di sana abang akan berjuang, abang akan mencari banyak rezeki. Dik akan menunggu abang kan, iya kan?”
        “Dik!”
       Angin tiba-tiba bertiup kencang di ubun-ubunku. Dinginnya malam menyambar cepat. Hatiku tidak bisa santai lagi sekarang. Buru-buru aku menyeruput kelapa muda lalu mengorek-ngoreknya hingga habis sekejap aku makan, aku minum. Tempurungnya aku bolak-balik, sangat cepat, begitu cepat. Aku tak tahu harus apa, aku biarkan diriku asyik bersama kelapa muda di depanku. Aku merasakan nafasnya begitu dekat. Tapi, aku membiarkannya saja. Aku biarkan ia bermain dengan pikirannya sendiri sembari menatap sebelah wajahku. Dan terpaksa, akibat aku tak pandai bersandiwara, akibat aku tak pandai mengatakan kepalsuan. Sorotan lampu malam, dan badan motor yang menawarkan cahaya membuat aku tak mampu menutupi saat air tiba-tiba berjatuhan dari mataku.
        “Abang minta maaf.”
     Aku diam. Aku masih diam. Anehnya hujan rintik-rintik kembali turun dan aku memintanya agar mengantarkanku pulang. Tanpa ada komentar darinya, seakan ia paham maksudku. Aku ingin memikirkan hal itu nanti, aku tak sanggup menahan air mata disini.
        Setelah menyalaminya sebagai tanda aku menghormati ia sebagai laki-laki, lalu ia membiarkanku masuk ke dalam rumah. Juga tanpa komentar.
       Aku memikirkan ucapannya semalaman. Di dalam kamar mungilku, dipenuhi boneka-boneka yang selama ini ia hadiahkan untukku. Aku menatap satu-satu, penuh kenangan pada setiap boneka itu. Misalnya saja, saat ia memenangkan pertandingan futsal, sedikit ia sisihkan untuk membelikan aku boneka. Saat aku berulang tahun, saat ia memiliki rezeki dari hasil pekerjaan lepas, ataupun saat tidak sengaja kami berjalan-jalan dan ia melihat boneka lucu lalu membelikannya untukku.
       Mungkin, ia masih bisa melakukan itu di Jepang, tentunya via pos. Namun terlebih pada maksudku adalah ia berada disampingku. Dan boneka-boneka itu tetap tak mampu menggantikan senyumnya. Berapa kali atau berapa banyak pun jumlah bonekanya tetap tak akan mengubah tangis ini.
      Di malam kedua sejak ia mengatakan akan pergi ke Jepang, aku memintanya bertemu di antara pepohonan, di bawah bulan dan bintang, di tempat di mana kami selalu ditemani dua buah kelapa muda. Sebelum memulai, aku mencoba menahan kebersamaan dengan menyeruput air kelapa hingga habis, mengkorek dagingnya sampai tak bersisa. Satu-satu kuperhatikan sudutnya. Semoga tak ada yang tersisa, batinku.
       “Baiklah. Adik ikhlas.”
       “Jadi, dik akan menunggu abang?”
       “Tidak, dik ikhlas mengakhiri.”
      “Maksudnya?” wajahnya dan wajahku selintas sama, sama-sama raut ketakutan, sama-sama bimbang, sama-sama kalut, sama-sama….
       “Kita putus.”
       “Jadi…” ia menatapku dengan heran. Matanya seakan ingin basah, tapi sekali lagi ia menahannya karena ia sadar bahwa ia seorang laki-laki. Lalu ia berdengus menarik napas satu hingga beberapa kali. Ditepuknya nyamuk yang sesekali membuat malam semakin terlihat malam, membuat angin semakin terasa angin, dingin.
       “Maksud dik, kita… berakhir?”
       Lalu aku menatapnya penuh keseriusan membalas tatapannya yang juga penuh keseriusan sembari berkata, “kita putus jarak, bukan putus hubungan, bukan putus komitmen. Kita hanya akan saling memahami. Dan dik tidak mungkin bisa berpisah dari abang. Sesuai komitmen, apa pun yang terjadi dik adalah abang dan abang adalah dik.”
       “Jadi….”
       “Pastinya dik hanya bercanda tadi. Ha…ha…ha….”
      Lalu kami tertawa bersama-sama sambil ia juga menghabiskan kelapa muda di depannya dengan penuh semangat yang membara.

                                                                                                     Kepada Motivatorku (Khair),
                                                                                                     Serambi KOMPAK, 2010.
                                                                                                     B'Gaul, Medan Bisnis, 23 Januari 2011


BINTANGKarya: Ria Ristiana Dewi

       Nyatanya kata-katanya selalu unik. Itulah yang kusuka darinya. Iya, aku setuju mengatakan dia adalah Bintang. Bintang karena ia selalu menjadi inspirasi ataupun inspirator. Bintang kukenal periang dan ramah. Bintang pernah pula menerbitkan perkataan “Yes for your spirit, guys! Come on! We must say no to down.”
       Kapan aku bisa menemukan teman seperti Bintang? Aku juga tak tahu, barangkali juga takkan pernah tergantikan. Bintang menjadi inspirasiku karena keanehannya, lebih tepatnya karena ia tak pernah sekalipun mengeluh tentang hidup. Bahkan sejak ia harus ditinggal bersama sunyi, ia justru membawa tawa dimana pun berada. Satu kata-katanya yang selalu kuingat.
       “Kau tak akan pernah mendapat hidup untuk kedua kalinya, jadi manfaatkanlah. Buatlah hidupmu bukan untuk separuh jiwa, namun sepenuh jiwa.”
       Bintang selalu menjadi inspirator karena setiap ia berkata selalu tak punya alasan untuk menentang kata-katanya. Ingin rasanya mengelak, namun tak terelakkan. Begitulah Bintang. Bagaimana lagi aku bisa berbohong tentangnya. Ia tak pernah berkeinginan untuk menghindari masalah namun kenyataannya masalahlah yang menghindar darinya. Itu karena ia selalu berada di tempat yang tepat di saat yang tepat. Bukan main-main, ini sungguh. Aku menyaksikannya bermain teater saat itu. Ia sedang mengkoordinasi anggotanya. Namun tak terlintas olehnya sedikit pun untuk menggilas hak teman-temannya berkomentar dan mengekspresikan diri. Nyatanya dia selalu bisa jadi yang terbaik. Tak ada komentar menganggap ini tak adil, memang begitulah Bintang. Tak bisa iri ataupun sangsi dengan kemampuannya memilih antara hak dan tanggung jawab.
       Jika kau ingin tau Bintang, itulah dia. Dan jika kau ingin tau aku, beginilah aku yang hanya bisa terpana kagum melihat Bintang.

                                                                                           ***
       Ditelusuri hujan gerimis pertanda indahnya pagi tertulis oleh seberkas sinar, membuat tanah airku ini menjadi nostalgia yang takkan pernah kusia-siakan. Seberkas sinar di langit segera berlalu menjadikan segudang cahaya hadir lembut disambut bumi. Embun di daun pinus tergelintir berusaha meraih ranting agar tak terjatuh, sedangkan embun di daun jati terlihat santai menggenang di pagi ini dan pagi-pagi yang lain. Ditemani tubuh sehat, aku berjalan sedikit tertatih mengingat lima menit lagi bel masuk sekolah.
       “Nyaris”
      Nafasku menggantung di tenggorokan, sesak serasa berhalangan masuk ke paru-paru, pelan-pelan aku mencoba menenangkan diri.
       “Seharusnya sudah telat”
       “Thanks Tang”
       “Lain kali aku gak peduli sobat”
       “Jangan bilang Bintang berubah hanya karena aku telat.”
       “Telat itu berarti aku berbohong gara-gara kau, setiap pagi aku harus punya alasan membantumu supaya bisa masuk”
       “Ayolah Tang, gunakan keahlianmu untuk membantu orang lain toh berpahala”
      “Kalau keterusan aku rugi”
      “Berapa sih Tang ruginya”
      “Seperti kehilangan sedikit nyalimu. Seperti itulah sobat”
      “Okelah. Okelah.”
      Aku tak begitu mengerti kata-katanya saat menunjukkan tanda-tanda kemarahan. Ia begitu tahu aku paling sebal dengan kata-kata formal yang ngesok, tapi ia sengaja menjadikan itu senjata agar aku cepat terdiam menyatakan kalah dengan semua asumsinya. Menuju kelas, kami berjalan di lorong tanpa beragumentasi, menyatakan saling maklum. Suasana kelas tak ada perubahan, Bu Aliyah duduk di sudut depan ruangan mengomentari kelas kami. Aku dan Bintang masuk dengan mudah setelah ada kode ‘ya’ dari Bu Aliyah.
      “Ah… gawat!” mengingat sesuatu yang barangkali sudah berkali-kali.
      “Kenapa?”
      “Buku besar lupa kubawa”  
      “Kalau gitu jangan pinjam” cuek.
      “Terus kalo gak pinjam?”
      “Lapor ke Bu Aliyah”
    “Tang, tega ya?” heran melihat Bintang hari ini. Biasanya ia selalu berusaha mencarikan jalan keluar, setidaknya ia akan membagi dua bukunya padaku ataupun merayu Bu Aliyah untuk mengerti keteledoranku.
      “Okelah Tang, aku ngaku aja ke Bu Aliyah” keberanian dalam diriku menjadi ringan sehingga tak tahu apa kata-kataku ini terlalu menunjukan sikap kekanak-kanakan.
      “ Hahaha… mudahnya buat sobatku sendiri percaya lelucon” tertawa kecil.
      “Maksudnya?” heranku menjadi-jadi. Pikiranku menebak hatiku sendiri. Alangkah lugunya.
      “Aku kan bisa membagi dua bukuku”
      “Itulah Tang! tadinya aku juga gak percaya”
      “Namanya juga Oon” sambil melemparkan senyum.
      “Apa?”
      “Osoi-osoi ni-to”*
      “Apaan tuh”
      “Artinya pintar”
      “Tang gak lagi ngebodohin aku kan?”
      “ Kira-kira?”
      “Ngak!”
      “Tuh tau”
      Hmm…ini udah kesekian kalinya. Nantinya Bintang akan menghiburku dan membuat aku merasa paling pintar setelah dia merasa bersalah sudah membodohiku. Kulihat ia tersenyum. Aku tahu aku juga harus pura-pura tersenyum. Walau perasaanku mengatakan Bintang sedang tertawa terbahak-bahak di dalam hatinya.
                                                                                             ***
       Pengalaman bersama Bintang mengingatkanku untuk senantiasa merangkai buih-buih persahabatan yang kadang kala menyisakan asap kepanikan namun tetap dalam koridor kekaguman. Kupetik rasa untuk mengecap manis pahit bersama Bintang, tetapi harus kuakui Bintang senantiasa hanyalah sebilah pisau yang dalam setiap tindakan dan kata-katanya menyembelih hingga ke serambi jantungku. Biarpun darah yang terpompa dalam tubuhku seakan berbeda setiap ada bintang di dekatku, aku mengerti bahwa Bintang tidak akan berpaling meninggalkan sahabatnya seperti yang dilakukan malin kudang terhadap ibunya. Siapa yang tahu? Aku juga tak tahu!
      Suasana haru menghibur perjalanan aku dan Bintang menuju lapangan. Pak Susilo sudah memperingatkan kami semua untuk tidak terlambat karena waktu akan terbuang percuma tanpa ada yang maksimal untuk setiap pelajaran olahraga.
      Badminton. Mencicipi raket dan memukul setiap bola yang datang terasa begitu mudah bagiku. Lalu bagaimana dengan Bintang?
      Benar! Bintang tak layak lagi dikatakan pemula. Sampai hari ini Pak Susilo adalah korbanya yang entah keberapa, hingga Pak Susilo terpaksa mengakui Bintang akan segera dipromosikan untuk mengharumkan nama sekolah.
     “Kau hebat!” hanya itu saja yang dapat kukatakan padanya. Sambil lagi-lagi terpana kagum. Melihat Bintang seperti angin ke sana kemari memudahkan segala perkara bagi setiap bola yang datang padanya.
      “Kau yang dahsyat!” lagi-lagi Bintang memutarkan derajat kata-kata yang aku tuju padanya.
   “Kapan kau kalah dariku Tang? Katakan! Kapan aku bisa mengalahkanmu? Aku akan segera memanfaatkan waku itu”
     “Ha…ha…ha…, jangat sewot gitu sobat”
    “Just Kidding!” sedikit intermezzo sebelum akhirnya aku dan bintang beralih jalan menuju kelas setelah selesai berganti pakaian.
                                                                                                  ***
     Kejuaraan yang ditunggu-tunggu akhirnya hadir. Bintang berjalan penuh percaya diri. Menyisikan setiap langkahnya dengan aba-aba kemenangan. Hampir dipastikan kenyataan yang benar-benar menjadi nyata. Antara yang aku pikirkan dan yg terjadi didepan mata kepalaku tidak jauh berbeda.
      “Hebat kau Tang. Aku sampai lupa minum minumanku, mataku tak lagi berkedip”
      “Dimana-mana yang terhebat itu adalah motivator. Dan kau motivatorku sobat”.
     Inilah yang aku sendiri selalu bimbang menyatakan akan apa dan mengapa Bintang selalu sukses adalah karena dia selalu rendah diri untuk setiap yang telah ia raih.
     Aku berjalan bersama bintang keluar dari keramaian maha dahsyat. Aku melihat tangan-tangan berusaha meraih ke arah Bintang, sesekali menyentuh kulitku, sesekali pula kulihat wajah-wajah itu seakan wajah belum makan berhari-hari, penuh harap mengaharap iba.
       Tidak! Bukan itu yang mereka harapkan. Namun, menyentuh Bintang ataupun mendapat sebuah tanda tangan maupun foto bareng sudah membuat mereka kekenyangan. Mereka tidak lain warga sekolahku maupun dari sekolah-sekolah lain.
       Setelah akhirnya aku dan Bintang keluar dari keramaian, aku, Bintang, dan guru-guru kami beranjak ke bus sekolah dan segera menuju sekolah. Sepanjang perjalanan Pak Susilo tidak henti-hentinya memuji Bintang. Tidak ketinggalan pula guru-guru yang lain menepuk-nepuk punggung Bintang.
       “Subahannallah, anakku, semua pemain berbakat dan terlatih asuhan gedung mewah kamu kalahin. Ibu gak percaya Tang! Nyaris Tang, tapi ibu tadi sejujurnya meneteskan air mata.” Kembali bu guru menepuk-nepuk punggung Bintang dan sekali-kali mengatakan, “Subahannallah…Subahannallah.”
                                                                                        ***
       Lantas di sekolah, aku segera menghindari keramaian yang lagi-lagi selalu kunjung hadir di sekeliling Bintang. Ini sudah seperti hari sehari bersama artis. Tanpa Bintang ketahui aku akhirnya berhasil keluar dari keramaian, beranjak ke tempat sepi. Aku melihat ke arah keramaian menjadikan diriku sendiri kagum. Saat aku selalu melangkahkan keyakinan bersama sahabat, tidak selamanya keyakinan itu benar. Suara-suara menganggap ini tak adil terkadang terpetik dalam setiap anganku. Apa pula yang bisa aku berikan bagi diriku sendiri adalah sama dengan yang ingin Bintang berikan padaku, yaitu persahabatan.
       Ini lah beberapa hal dari banyak hal yang barangkali cerita tak pernah habisnya tentang aku dan Bintang.

                                                                                                                   Serambi KOMPAK, 2009-2010
                                                                                                                   
Waspada, 16 Januari 2011

Sayum Sabah in Write n Fun

Sayum Sabah in Write n Fun
KOMPAK is The Best

Incar...

Incar...
Medan Bisnis, B'Gaul

Karya sekaligus Cerpen pertama yang keluar di koran

Karya sekaligus Cerpen pertama yang keluar di koran
Medan Bisnis, B'Gaul

Holiday in Fun Tri

Holiday in Fun Tri
Riahhhh" n FREN"