-Artikel-

INDONESIAKU BELUM PUITIS
Rentetan Kegelisahan TKI Meregut Bait-Bait Kebangsaan

Oleh: Ria Ristiana Dewi
 
       Puisi adalah keindahan seseorang menyikapi kehidupan. Pada dasarnya kehidupan memiliki banyak dilema yang keseluruhannya adalah puisi itu sendiri. Hidup pun memiliki banyak jalur yang mana setiap jalur adalah pilihan kehidupan yang akan dijalani. Lalu bagaimana jika hidupmu itu adalah puisimu?
    Kata pengantar Handoko F Zainsan dalam buku kumpulan puisi “Mata Api” oleh MH. Poetra mengatakan, “Sesungguhnya kita berdiri di lorong gelap kegelisahan. Kegelisahan dari gegap gempita laju karya yang kian semarak”. Sejalan dengan paparan ini, Hinshelwood dalam kata pengantar Handoko (MH. Poetra: xi) menyatakan bahwa teori-teori psikonalis tentang kegelisahan telah banyak bermunculan dan sebagian besar berkaitan dengan masalah-masalah dari berbagai bentuk konflik yang berbeda”.
          Penulis sangat setuju apabila kegelisahan memang sesuatu yang tidak dapat kita hindari. Kegelisahan ini memanglah perasaan yang tak menentu, penuh syahwak sangka. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang kerap kita bincangkan selepas makan atau selagi dalam perjalanan kita mengunjungi saudara-saudara kita. Pertanyaan-pertanyaan yang terus saja mencari jawaban. Bahkan kadang semuanya lepas kendali lantaran kuatnya kegelisahan dan berubah menjadi sesuatu yang irasional.
          Hal inilah yang terjadi sepanjang tahun pada masyarakat Indonesia. Kali ini topiknya adalah TKW. Ada banyak sekali kasus TKW di luar negeri dan yang sedang hangatnya adalah kasus dieksekusinya Ruyanti secara tiba-tiba. Seperti yang tertambat dalam tulisan opini Dony Arlando dalam harian Analisa (kamis, 23 Juni 2011) bahwa pelaksanaan hukuman mati tersebut terkesan sangat mendadak bahkan Micheal Tene, juru bicara kementrian luar negeri mengatakan, pelaksanaannya tidak pernah diinformasikan kepada KBRI di Riyadh meskipun kemudian KBRI berdalih selama ini sudah ada upaya KBRI untuk memberi bantuan hukum kepada Ruyanti.
          Tentu saja kegelisahan masyarakat Indonesia saat ini sedang memuncak menyusul pemberitaan tersebut dan inilah yang menyebabkan fobia luar biasa baik itu kalangan rakyat maupun pemerintah sekalipun. Buah daripada kegelisahan ini membuat pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk pekerja domestik atau PLRT (Penata Laksana Rumah Tangga) atau memberlakukan moratorium penempatan ke Arab Saudi mulai Agustus. Dalam pemberitaan Analisa (kamis, 23 Juni 2011) juga dikatakan, “Menteri Tenaga Kerja dan Migrasi Muhaimin Iskandar berharap pemberlakukan moratorium ini dapat dimanfaatkan semua pihak untuk bekerja sama membenahi sistem penempatan dan perlindungan TKI dan kejadian-kejadian yang merugikan TKI tidak terulang lagi”.
          Harapan itu tidak hanya harapan pemerintah, bila dapat bersebab sesungguhnya pemerintah memiliki sebab akibat yang penuh tanggung jawab atas hal ini. Dalam hal penempatan-penempatan tenaga kerja, pemerintah harus lebih tegas dan berani. Keberanian pemerintah itu adalah tolak ukur keberanian masyarakat dan sudah selayaknya fobia yang terus memacu di kalangan bangsa Indonesia akan hilang seiring pembelajaran ini.
          Ya, masyarakat dan pemerintah memang gelisah atas kejadian satu atau beberapa orang di luar negeri dan dampaknya adalah perekonomian negara. Jika dalam puisi dampak kegelisahan ini adalah munculnya karya-karya terbaik, maka yang bangsa ini harapkan juga adalah pembelajaran terbaik.
 


TKI adalah Hari Depan Indonesia
           Melihat banyaknya masyarakat Indonesia yang bekerja sebagai TKI dan yang terbanyak sekarang ini adalah wanita, maka tidak salah bahwa 36 tahun yang lalu Taufiq Ismail membuat sebuah puisi berjudul “Kembalikan Indonesia Padaku”. Dapat dikutip puisi tersebut: “Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian. Hari depan Indonesia adalah pertandingan pimpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa”.
           Rakyat Indonesia makin lama makin banyak jumlahnya. Masyarakat Indonesia dengan penduduk 200 juta lebih dan kemiskinan yang melanda, menyebabkan pemimpin harus bersungguh-sungguh memimpin negara dan membuat rakyat menjadi makmur. Karena itu penyair menyerukan imbauan agar Kembalikan Indonesia kepada rakyat. Perjuangkanlah nasib rakyat. Sebenarnya apabila inilah yang terjadi maka kuantitas TKI dapat dikurangi bahkan kalaupun harus menjadi TKI, akan menjadi TKI yang memiliki keahlian khusus dan dikontrak dengan kehormatan. Tentu kita semua tidak ingin mendengar lagi gaji TKI yang tidak dibayar ataupun hukuman mati dengan alasan tidak jelas sehingga dianggap terlalu berpihak pada majikan saja.
           Apabila segala bentuk kesalahan ini mampu dibendung, akan menjadi nilai baik buat Indonesia di masa yang akan datang. Bisa pula kita hitung lagi bagaimana Indonesia kedepan: Apakah TKI yang berjaya, TKI yang bahagia, dan TKI yang mendapat keadilan serta dukungan dari tempat asalnya? Atau justru sebaliknya? Tentu bukan hal buruk lagi yang diharapkan bangsa ini.
 


Negara Kita Perlu Belajar dari Penyair
          Perlu memang bangsa ini belajar dari seorang penyair. Belajar berpuisi sesungguhnya tidaklah perkara menguasai teori yang begitu banyak sebab seyogiyanya belajar puisi sama dengan kita belajar berbicara. Belajar berbicara tidak membutuhkan teori baru bisa berbicara sebab seorang manusia yang baru saja lahir akan belajar dengan terbata-bata saat pertama kalinya dengan kemudian ia akan berhasil. Begitupun puisi, yang menyimpan sejuta kesejukan melihat situasi. Sejuk apabila dalam pikiran seseorang selalu tertanam keindahan walaupun ada banyak rintang yang membentang.
          Sepertinya memang itulah yang sedang menggejala di negara kita. Apabila pemerintah bersama-sama masyarakat mampu menyikapi masalah TKW di luar negeri sebagai pembelajaran tidak akan terjadi lagi derita yang tragis atau kemungkinan lebih tragis di masa mendatang. Kenyataannya dalam opini yang ditulis oleh Januari Sihotang dalam analisa (kamis, 23 Juni 2011), derita tragis TKI kita sering terlupakan. Hal itu terjadi akibat berbagai kepentingan para pemangku kekuasaan. Kehadiran mereka terkesan tidak memiliki kesadaran ambil andil dalam masalah ini bahkan di beberapa media sering terjadi lempar masalah daripada inisiatif bahkan perbuatan menyelesaikan masalah tersebut sehingga akhirnya presiden dituntut pula menyelesaikan secara keseluruhan. Barulah gerak-gerik itu bungkam. Tidak adanya kesadaran masing-masing pihak yang memiliki hubungan langsung atas masalah TKI inilah sebenarnya akan merugikan perekonomian negara kita. Pemerintah harus memperhatikan pula masalah pihak-pihak tersebut dan mereguk agar kelak pihak-pihak itu memiliki tujuan dan kepentingan yang tidak berat sebelah.
          Inilah salah satu dari banyak hal gerak pembelajaran negara kita dalam mengatasi masalah TKI yang merupakan sumber investasi terbesar. Profesionalisme lagi-lagi dituntut. Lalu mengapa? Penyair selalu dianggap memiliki kegiatan yang kurang kerjaan jika akhirnya negara perlu belajar dari kecintaan penyair terhadap karya-karyanya. Sebab seorang penyair selalu dituntun memiliki tanggung jawab atas karyanya dan akan selalu siap atas gejolak itu. W. S. Rendra selalu dikenang kala ia selalu menciptakan karya-karya terbaik. Menjadi seorang penyair memang bukan perkara uang segepok, maka selalu saja mendapat dukungan dan sambutan dari banyak pihak. Negara kita memang harus lebih banyak belajar dari seorang penyair. Ya! Ada banyak hal keindahan dalam masalah TKI khususnya TKW yang dapat menjadi keberhasilan di masa yang akan datang. Semoga!
 


Serambi KOMPAK, 30 Juni 2011
Analisa, 3 Juli 2011

Sayum Sabah in Write n Fun

Sayum Sabah in Write n Fun
KOMPAK is The Best

Incar...

Incar...
Medan Bisnis, B'Gaul

Karya sekaligus Cerpen pertama yang keluar di koran

Karya sekaligus Cerpen pertama yang keluar di koran
Medan Bisnis, B'Gaul

Holiday in Fun Tri

Holiday in Fun Tri
Riahhhh" n FREN"