Ma Hyang
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Dengan celana pendek dan kaus ablong bapak duduk di depan TV. Seperti biasa, bapak menahan mata hingga pagi menonton wayang kulit. Terkadang bapak mematikan lampu ruang TV agar ibu tidak terganggu dengan sinarnya hingga membuat suasana malam semakin gulita. Hanya sinar kelap kelip saja yang membuat bapak terlihat dari sorotan mata.
Di sampingnya, selagi menonton bapak berkata, “ini namanya Wayang Kulit Gragag Yogyakarta”
“ Owh…,” gumamnya dengan bingung yang masih tergambar di wajah.
Di depan sorotan lampu TV, ia dan bapak berseteru tajam, terkadang menguap namun biasa. Biasa karena ia dan bapak selalu nonton bersama. Biasanya pula ia tertidur dan bapak akan membiarkan atau malah menggendong tubuh kecilnya ke dalam kamar.
Namanya Ma Hyang. Hmm…begini, ibunya bilang bapak suka menonton wayang maka bapak memberikannya nama Ma Hyang. Katanya nama itu asal kata dari kata wayang, tapi ia sendiri tak mengerti apa artinya.
Dan,
Jika ada yang membuat pertanyaan maupun peryataan, mereka bilang Ma Hyang itu gadis berdarah jepang. Masalahnya mata Ma Hyang tidak bermata cipit, jadi mana mungkin memiliki keturunan Jepang. Terkadang ada pula yang menyebutnya gadis tersohor bernama klasik. Ah…, ada-ada saja!
Yang lain bertanya, “Ma Hyang, Bapakmu dulu apa pernah tinggal di Jepang, Cina, atau Korea?”
Dan,
Ma Hyang akan tertunduk, bukan malu namun heran. Heran kenapa banyak yang bertanya tentang namanya. Padahal sewaktu ia baru pandai berjalan dan pandai berkata-kata dulu, bapak dan ibu tidak pernah merasa ngeri memanggil nama itu. Begitulah Ma Hyang yang biasanya dipanggil Hyang tidak tahu jika saat usianya kini menjemput delapan tahun akan ada yang bertanya-tanya perihal nama Ma Hyang.
Di sekolah, Ma Hyang seperti anak-anak di sekelilingnya, bercanda serta bercengkrama. Belajar dengan tertib bahkan ia salah satu siswa berprestasi di kelas. Kadangkala ia berdiam di perpustakaan, menumpahkan konsentrasinya untuk membolak-balik berbagai jenis buku mulai dari novel, komik, majalah juga tak luput dari sentuhan jemarinya dan olesan jiwa nan pikiran. Hmm…barangkali inilah yang membedakan Ma Hyang dengan anak-anak lainnya.
Ma Hyang memang anak keturunan Klaten campur Solo namun ia tak pernah meminjak kaki di wilayah itu. Bapaknya dari Klaten, kalau begitu ibunya berasal dari Solo. Ia sendiri saat ini bermukim di kota terbesar ketiga Indonesia, Medan. Ma Hyang memang tak dapat berbahasa Jawa, tapi Entah kenapa setiap bapak menonton Wayang Kulit ia seakan mengerti ceritanya. Tidak ada yang tahu bahwa dalam tubuh mungilnya Ma Hyang memiliki kemuliaan mimpi, serta tiap ia bercerita akan ada sela kala ia memungut jatinya tentang asal muasal bapak dan ibu.
Mimpi itu adalah mimpi si mata belia. Kerap Ma Hyang suka membaca buku-buku berbau budaya Jawa. Sekedar ingin tahu tentang wayang kulit yang selama ini hanya ia lihat di TV.
Di dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter, diantara lemari pakaian dan meja belajar, Ma Hyang masih terlihat lelap terbawa mimpi di atas ranjang. Sayup – sayup ia kerahkan kelopak mata hingga terbuka. Terlihatlah mata merahnya melanglang buana mencari arah suara yang membangunkan. Yah…, ada suara berisik dari luar kamarnya. Ma Hyang langsung meloncat dari ranjang dan bergegas ke arah suara itu. Ia tak tahu lagi ketakutan apa yang telah terjerat di benaknya setelah mendengar suara terisak-isak itu. Bening kali ini sirna, keruh bersama tangis. Ma Hyang melihat bapak terbujur kaku di atas ranjang, ibu meraung menangis teriris-iris jiwanya, terpukul dengan bapak tanpa napas hingga ibu kerap mengoyang-goyangkan tubuh bapak, mana tahu bapak hanya bercanda. Di samping kanan dan kiri ibu ada dua orang ibu-ibu tetangga yang berusaha menenangkan suasana. Tapi ibu terus menangis dan menangis. Inilah yang ibu takutkan, Ayah dengan penyakit jantungnya yang selama ini ia derita. Dan Ma Hyang hanya terdiam di sebelah pintu dengan takut sambil bertanya-tanya sendiri dalam hati, apakah yang telah membuat bapak tertidur dan kenapa ibu harus meraung sambil diberi ketenangan oleh ibu-ibu di sampingnya.
“Masih bernapas!,” kata salah seorang dari tentangga yang juga Pak RT di gang rumah Ma Hyang sontak mengagetkan orang-orang yang tengah berduka saat itu termasuk Ma Hyang dan ibunya.
Mereka menelpon ambulan, menyelimuti bapak dengan kain, merebahkan tubuhnya di atas tilam kapuk dan menaikkannya beramai-ramai memasuki ambulan. Ma Hyang dan Ibu ikut berada di samping bapak dalam perjalanan menuju rumah sakit. bapak langsung diperiksa oleh kerumunan perawat dengan satu orang dokter umum. Setelah itu, bapak dimasukkan ke dalam ruang ICU. Ruangan itu pula dipenuhi pasien dengan kondisi rata-rata koma (tidak sadarkan diri).
Ma Hyang tidak ke sekolah hari ini. Ia tak ingin meninggalkan ibu sendiri berjuang melawan perih menunggu bapak yang sedang berada di ruang ICU. Mereka hanya diberi satu buah sofa untuk tidur selama bermalam-malam. Hmm…begitulah, Ma Hyang dan ibu telah lama menunggu bapak bangun dari tidurnya.
“Maaf bu, Apakah ibu istri bapak ini?,” tanya seorang dokter spesialis yang tengah memeriksa bapak saat ibu juga sedang menemani bapak pada jam berkunjung.
“Ya…, bagaimana kondisi suami saya, Dok?”
“Saya tidak bisa memastikan sekarang ini, jantungnya mulai lemah bahkan ini sudah kronis tapi saya ingin menanyakan pada ibu apakah bapak pernah memiliki semacam benda keramat?”
“Tidak, tapi…setahu saya bapak dulu punya keris namun hilang dicuri temannya. Kenapa Dok? Apa ada hubungannya dengan kondisi suami saya?”
“Ah…tidak. Sebaiknya segala urusan bapak dibereskan dan ibu tinggal berdoa apakah ingin mengikhlaskan bapak karena kondisinya sudah semakin tidak mungkin.”
Dan,
Ibu kembali terduduk dalam diam, disamping Ma Hyang yang semakin bimbang. Lalu ibu mengajak Ma Hyang shalat lantas ibu mendoakan bapak seperti yang dipesankan dokter.
***
Ma Hyang namanya. Ia telah beranjak remaja kini, setelah dahulu ayahnya meninggal di usianya yang masih belia. Dengan kulitnya yang putih, tubuhnya yang tinggi, matanya berbinar dan rambutnya tergerai panjang Ma Hyang berjalan menyusuri sekolahnya, SMA. Dengan rasa tak menyerah, Ma Hyang menjadi gadis mandiri disukai banyak laki-laki.
Hari ini, Ma Hyang telah menahan ngantuk. Tadi malam ia menghafal naskah panjang untuk memerankan salah satu tokoh Mahabrata. Ia sendiri yang membuah naskah itu dan ia pula yang merangkul teman-teman sekolahnya untuk memberikan persembahan terakhir pada sekolah yang akan ditinggalkan setelah mereka dinyatakan lulus SMA. Entah kenapa ia selalu mendapat sambutan paling mengesankan dan kenapa pula ia menjadi dambaan setiap orang.
Setelah tepuk tangan yang riuh terus terngiang hingga malam tiba Ma Hyang tersenyum-senyum geli sambil berbaring di atas ranjangnya. Dan ia mulai mencari benda kesayangannya sepeninggal bapak. Di dalam laci tangganya merogoh benda keramat yang selama ini dicari-cari bapaknya. Hmm…mungkin bapak Ma Hyang lupa sewaktu malam sebelum menonton wayang Ma Hyang kerap bermain-main dalam gelap bersama kelam yang dibawakan keris tersebut.
Oleh: Ria Ristiana Dewi
Dengan celana pendek dan kaus ablong bapak duduk di depan TV. Seperti biasa, bapak menahan mata hingga pagi menonton wayang kulit. Terkadang bapak mematikan lampu ruang TV agar ibu tidak terganggu dengan sinarnya hingga membuat suasana malam semakin gulita. Hanya sinar kelap kelip saja yang membuat bapak terlihat dari sorotan mata.
Di sampingnya, selagi menonton bapak berkata, “ini namanya Wayang Kulit Gragag Yogyakarta”
“ Owh…,” gumamnya dengan bingung yang masih tergambar di wajah.
Di depan sorotan lampu TV, ia dan bapak berseteru tajam, terkadang menguap namun biasa. Biasa karena ia dan bapak selalu nonton bersama. Biasanya pula ia tertidur dan bapak akan membiarkan atau malah menggendong tubuh kecilnya ke dalam kamar.
Namanya Ma Hyang. Hmm…begini, ibunya bilang bapak suka menonton wayang maka bapak memberikannya nama Ma Hyang. Katanya nama itu asal kata dari kata wayang, tapi ia sendiri tak mengerti apa artinya.
Dan,
Jika ada yang membuat pertanyaan maupun peryataan, mereka bilang Ma Hyang itu gadis berdarah jepang. Masalahnya mata Ma Hyang tidak bermata cipit, jadi mana mungkin memiliki keturunan Jepang. Terkadang ada pula yang menyebutnya gadis tersohor bernama klasik. Ah…, ada-ada saja!
Yang lain bertanya, “Ma Hyang, Bapakmu dulu apa pernah tinggal di Jepang, Cina, atau Korea?”
Dan,
Ma Hyang akan tertunduk, bukan malu namun heran. Heran kenapa banyak yang bertanya tentang namanya. Padahal sewaktu ia baru pandai berjalan dan pandai berkata-kata dulu, bapak dan ibu tidak pernah merasa ngeri memanggil nama itu. Begitulah Ma Hyang yang biasanya dipanggil Hyang tidak tahu jika saat usianya kini menjemput delapan tahun akan ada yang bertanya-tanya perihal nama Ma Hyang.
Di sekolah, Ma Hyang seperti anak-anak di sekelilingnya, bercanda serta bercengkrama. Belajar dengan tertib bahkan ia salah satu siswa berprestasi di kelas. Kadangkala ia berdiam di perpustakaan, menumpahkan konsentrasinya untuk membolak-balik berbagai jenis buku mulai dari novel, komik, majalah juga tak luput dari sentuhan jemarinya dan olesan jiwa nan pikiran. Hmm…barangkali inilah yang membedakan Ma Hyang dengan anak-anak lainnya.
Ma Hyang memang anak keturunan Klaten campur Solo namun ia tak pernah meminjak kaki di wilayah itu. Bapaknya dari Klaten, kalau begitu ibunya berasal dari Solo. Ia sendiri saat ini bermukim di kota terbesar ketiga Indonesia, Medan. Ma Hyang memang tak dapat berbahasa Jawa, tapi Entah kenapa setiap bapak menonton Wayang Kulit ia seakan mengerti ceritanya. Tidak ada yang tahu bahwa dalam tubuh mungilnya Ma Hyang memiliki kemuliaan mimpi, serta tiap ia bercerita akan ada sela kala ia memungut jatinya tentang asal muasal bapak dan ibu.
Mimpi itu adalah mimpi si mata belia. Kerap Ma Hyang suka membaca buku-buku berbau budaya Jawa. Sekedar ingin tahu tentang wayang kulit yang selama ini hanya ia lihat di TV.
Di dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter, diantara lemari pakaian dan meja belajar, Ma Hyang masih terlihat lelap terbawa mimpi di atas ranjang. Sayup – sayup ia kerahkan kelopak mata hingga terbuka. Terlihatlah mata merahnya melanglang buana mencari arah suara yang membangunkan. Yah…, ada suara berisik dari luar kamarnya. Ma Hyang langsung meloncat dari ranjang dan bergegas ke arah suara itu. Ia tak tahu lagi ketakutan apa yang telah terjerat di benaknya setelah mendengar suara terisak-isak itu. Bening kali ini sirna, keruh bersama tangis. Ma Hyang melihat bapak terbujur kaku di atas ranjang, ibu meraung menangis teriris-iris jiwanya, terpukul dengan bapak tanpa napas hingga ibu kerap mengoyang-goyangkan tubuh bapak, mana tahu bapak hanya bercanda. Di samping kanan dan kiri ibu ada dua orang ibu-ibu tetangga yang berusaha menenangkan suasana. Tapi ibu terus menangis dan menangis. Inilah yang ibu takutkan, Ayah dengan penyakit jantungnya yang selama ini ia derita. Dan Ma Hyang hanya terdiam di sebelah pintu dengan takut sambil bertanya-tanya sendiri dalam hati, apakah yang telah membuat bapak tertidur dan kenapa ibu harus meraung sambil diberi ketenangan oleh ibu-ibu di sampingnya.
“Masih bernapas!,” kata salah seorang dari tentangga yang juga Pak RT di gang rumah Ma Hyang sontak mengagetkan orang-orang yang tengah berduka saat itu termasuk Ma Hyang dan ibunya.
Mereka menelpon ambulan, menyelimuti bapak dengan kain, merebahkan tubuhnya di atas tilam kapuk dan menaikkannya beramai-ramai memasuki ambulan. Ma Hyang dan Ibu ikut berada di samping bapak dalam perjalanan menuju rumah sakit. bapak langsung diperiksa oleh kerumunan perawat dengan satu orang dokter umum. Setelah itu, bapak dimasukkan ke dalam ruang ICU. Ruangan itu pula dipenuhi pasien dengan kondisi rata-rata koma (tidak sadarkan diri).
Ma Hyang tidak ke sekolah hari ini. Ia tak ingin meninggalkan ibu sendiri berjuang melawan perih menunggu bapak yang sedang berada di ruang ICU. Mereka hanya diberi satu buah sofa untuk tidur selama bermalam-malam. Hmm…begitulah, Ma Hyang dan ibu telah lama menunggu bapak bangun dari tidurnya.
“Maaf bu, Apakah ibu istri bapak ini?,” tanya seorang dokter spesialis yang tengah memeriksa bapak saat ibu juga sedang menemani bapak pada jam berkunjung.
“Ya…, bagaimana kondisi suami saya, Dok?”
“Saya tidak bisa memastikan sekarang ini, jantungnya mulai lemah bahkan ini sudah kronis tapi saya ingin menanyakan pada ibu apakah bapak pernah memiliki semacam benda keramat?”
“Tidak, tapi…setahu saya bapak dulu punya keris namun hilang dicuri temannya. Kenapa Dok? Apa ada hubungannya dengan kondisi suami saya?”
“Ah…tidak. Sebaiknya segala urusan bapak dibereskan dan ibu tinggal berdoa apakah ingin mengikhlaskan bapak karena kondisinya sudah semakin tidak mungkin.”
Dan,
Ibu kembali terduduk dalam diam, disamping Ma Hyang yang semakin bimbang. Lalu ibu mengajak Ma Hyang shalat lantas ibu mendoakan bapak seperti yang dipesankan dokter.
***
Ma Hyang namanya. Ia telah beranjak remaja kini, setelah dahulu ayahnya meninggal di usianya yang masih belia. Dengan kulitnya yang putih, tubuhnya yang tinggi, matanya berbinar dan rambutnya tergerai panjang Ma Hyang berjalan menyusuri sekolahnya, SMA. Dengan rasa tak menyerah, Ma Hyang menjadi gadis mandiri disukai banyak laki-laki.
Hari ini, Ma Hyang telah menahan ngantuk. Tadi malam ia menghafal naskah panjang untuk memerankan salah satu tokoh Mahabrata. Ia sendiri yang membuah naskah itu dan ia pula yang merangkul teman-teman sekolahnya untuk memberikan persembahan terakhir pada sekolah yang akan ditinggalkan setelah mereka dinyatakan lulus SMA. Entah kenapa ia selalu mendapat sambutan paling mengesankan dan kenapa pula ia menjadi dambaan setiap orang.
Setelah tepuk tangan yang riuh terus terngiang hingga malam tiba Ma Hyang tersenyum-senyum geli sambil berbaring di atas ranjangnya. Dan ia mulai mencari benda kesayangannya sepeninggal bapak. Di dalam laci tangganya merogoh benda keramat yang selama ini dicari-cari bapaknya. Hmm…mungkin bapak Ma Hyang lupa sewaktu malam sebelum menonton wayang Ma Hyang kerap bermain-main dalam gelap bersama kelam yang dibawakan keris tersebut.
*) Wayang Kulit Gragag Yogyakarta: Wayang Kulit Gaya Yogyakarta
*) Ma Hyang: asal kata wayang yang artinya menuju Yang Maha Esa.
*) Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. (sumber: www.wikipedia.org)