Jumat, 26 Agustus 2011

                                        -SEPUTAR INDONESIA-

BULAN 
 Oleh: Ria Ristiana Dewi
 
          Belakangan ini Bulan itu terus saja berbicara padaku. Terkadang saat aku berjalan pulang sehabis kerja seharian ataupun saat aku tak sengaja memilih berjalan-jalan bersama istriku bahkan sewaktu aku duduk dengan teh hangat di halaman rumah. Bulan itu memanggil-manggil namaku, meminta agar aku menemaninya.
          ”Satu malam saja,” katanya kepadaku turut merayu. Kala itu aku sedang malas berbicara pada langit. Aku hendak bergegas masuk, namun ia merintih dan sempat meneteskan air mata. Aku tak tega, maka kutemani ia satu malam ini. Bulan yang cantik, dagunya runcing, matanya berkedip-kedip, dan senyumnya memukau membuat aku tak mampu berpaling. Agar aku tak turut dibuai malam, kuputuskan meminum secangkir kopi. Kutemani ia berbicara dan ya... memang sudah kuduga sebelumnya, ia akan mengobrol panjang lebar sementara aku mulai tak kukuh dengan suaranya yang merayu.
         ”Kumohon beri aku kesempatan,” katanya memulai itu dan itu lagi. Dan aku mulai berpura-pura menguap. Aku anggap ia tak pernah mengatakan apapun padaku.
          ”Jangan begitu! Aku tahu kau masih begitu sayang padaku,” katanya sembari sedikit meninggikan suara. Mendengarnya aku mulai semakin gerah dan kuputuskan mengucapkan selamat malam.
          ”Aku tak mau. Tetaplah mendengarkanku. Tetaplah di situ,” katanya lagi dan lagi. Ah... aku mulai muak dengan singkat kukatakan, ”Cari Bintang yang lain!”
          Lalu aku masuk ke dalam rumah. Istriku sudah menunggu dengan senyum khas membuat raut wajahnya bertambah manis. Langsung kudekap, tak kulepas.
                                                                              ***
         Aku tak bisa menyangkal, suara-suara di gerimis senja menimang-nimang penantianku pada malam. Aku merindukan Bulan. Kali ini aku yang mengaku ingin melihatnya walau hanya satu malam. Mendengar suaranya yang manja di antara desir angin malam dan menyambangi kepiluanku. Barangkali sedikit aku merasa bangga atasnya. Ia terlalu mengagumiku, padahal sudah selayaknya ia dikagumi sebagaimana dagunya yang runcing ataupun matanya yang menyala-nyala memukau setiap yang memandang.
          Kali ini aku berdiri di halaman rumahku yang diapit pagar tanaman tinggi dan lebat. Di bawah langit dengan bintang terserak cerah dan seunggu bunga anggrek. Kira-kira sepuluh meter luas rumput halaman ini ditanami juga dengan beraneka bunga. Yang di ujungnya, tepat dibalik tembok adalah kolam ikan koi. Setiap malam suara gemericik airnya menemaniku sendiri menunggu datangnya Bulan.
         ”Bulan! Oh... Bulan,” kataku memanggil-manggil Bulan. Tapi, tak ada jawaban. Justru suara jangkrik yang semakin lantang dan sesekali lompatan ikan koi membuatku bergidik lantas kembali kuseruput secangkir kopi buatan istriku. Dekat dengan bunga kesayangan istriku. Di situlah belalang hijau bertahta. Di atas setangkainya berdiri tiga kuntum bunga cempaka. Bersembunyi malu-malu dalam semak daun. Kelopak memanjang-manjang pipih berwarna putih disertai putik berbentuk cengkeh. Lantas kupetik sekuntum dan mencium harumnya.
         ”Aku tahu Bulan, kau begitu menyukai bunga ini,” kataku lagi dan lagi-lagi masih bersembunyi dengan malam yang menyendiri. Sementara tatapanku kemudian tak lepas dari langit. Ah... sebentar lagi aku menyakini Bulan akan hadir. Tak dapat disangkal lagi kalau Bulan menyukai cempaka dan aku yakin ia akan datang tidak hanya karenaku, namun juga karena cempaka yang sedang aku genggam. Ia adalah malamku, berkeliaran dalam mimpi-mimpiku, menjadi putri dalam dunia khayanganku.
           Di malam yang berjalan dengan mendogma ribuan pujaan kepada langit, memang tak lama setelahnya cahaya berduyun-duyun. Bulan menampakkan wajahnya, ruang sekelilingku cerah dan rupanya bagaikan sorotan lampu merah. Sejenak ia memberhenti lamunanku. Merah...
          Aku mendongak ke arahnya. Warnanya memang sudah tak biasa. Sebelumnya lebih lembut dari ini, namun kali ini lebih merah dan sesekali ada kilatan yang menyambar.
          ”Oh... Bulan! Kau kenapa?”
          Ia tak menjawab. Lantas tak lama kemudian kilatan itu menyambar bunga cempaka yang masih ditangkai. Tepat di sebelah aku duduk dengan wajah lugu terperangah. Bunga itu terbakar amarah.
          ”Awas kau...” katanya sungguh marah.
          Aku langsung masuk ke dalam rumah. Namun ia menyambarku lagi dan ah... kalau aku kehilangan sedetik saja, mungkin lenyaplah. Sebagai korbannya bunga jarum yang manis berdiri di seberang teras hangus sudah.
           ”Itu bunga kesayangan istriku,” kataku padanya dengan melotot. Namun, sekali lagi ia akan menyambarku. Merahnya semakin menyala. Maka aku terus berlari ke dalam rumah.
           Aman. Aku merasa dia pasti sudah pergi. Cahayanya juga mulai redup. Lantas dari dalam jendela rumah, aku menatap keluar sana. Halamanku yang sudah tidak seperti beberapa menit yang lalu. Kini cempaka itu sudah tak dapat dikenali, rumput jepang yang tertata hasil kerja keras tukang kebun kami juga terbakar, hanya tinggal tanah yang merana berwarna hitam. Sementara heuforbia kesayangan ibu mertuaku yang terletak tak jauh dari cempaka juga terbelah dua dan warna bunganya telah koyak dua hitam, begitu lekat. Air di kolam sebelah pagar juga seluruhnya naik berikut isi-isinya. Terlihatlah koi-koi melompat-lompat tak berdaya.
           Setelah aku merasa tidak ada lagi tanda ia akan muncul, aku mencoba keluar. Mana tahu aku bisa mengamankan ikan-ikan yang melompat terus di halaman. Aku melangkah dengan pasti, pelan, begitu pelan. Sampai juga aku di teras dan aku mendongak lagi ke atas.
           Hening....
           ”Aman,” kataku menyakinkan diri sendiri.
           Aku merasa akan bisa menyelamatkan ikan-ikan itu, tapi itu sebelum aku menengadahkan kembali ke atas langit dan melihat Bulan di situ dengan senyumnya. Siap menyerang kembali.
           Duarrrr....
           Ops! Selangkah lagi kena. Kali ini yang menjadi korban adalah pohon antik berbentuk tubuh istriku.     Hasil tempahan istriku pada penjual bunga terkenal. Sontak saja aku kembali masuk ke dalam rumah. Namun tiba-tiba saja...
            Duarrr....
           Tidak, ini tidak mungkin! Rumahku terbakar. Tanpa memperhitungkan harta benda lagi aku lekas keluar rumah dengan cemas yang menjadi-jadi. Kulewati saja ikan-ikan yang tadinya akan kuselamatkan. Tanganku mengayun bersiap memompa tubuh agar lekas aku sampai. Entah... akupun tak tahu mau sampai mana. Tapi aku harus terus berlari. Sembari berlari aku terus tak percaya. Akankah ini Bulan yang kukenal?
           Ia masih murka. Lalu sekejap menyambarku lagi. Pohon beringin sepanjang jalan yang kulalui menjadi korban selanjutnya. Dahan-dahannya terbelah dan satu persatu rantingnya juga berguguran, berjatuhan dan tampak terserak. Ada bekas bakaran kecil mencederai daun-daunnya. Aku merasa efek terbakarnya tidak terlalu fatal. Rumahku yang berada dekat taman depan kompleks perumahan membuat aku berlari ke arah pohon besar, namun lekas saja terbakar. Di jalan, aku terus berkoak meminta pertolongan, namun entahlah, tak ada satu orangpun di sepanjang jalan. Aku melongok ke salah satu rumah yang berada tak jauh dari tempat kuberdiri dan berlari ke arahnya. Napasku terasa menyangkut di tenggorokan. Pada kaca jendela rumah itu aku sempat memperhatikan wajah kering yang merana. Oh... itukah wajahku?
           Lalu aku ketuk pintunya. Aku engkol-engkol pegangan pintunya, tak bisa dibuka dan masih belum ada jawaban dari dalam. Aku melihat Bulan perlahan terus mencari-cari keberadaanku. Dan lengkaplah, ia telah melihatku. Bertepatan dengan itu, pemilik rumah telah tampak di depan mata.
           ”Ya?”
           ”Awas Pak! Ada Bulan yang menyambar,” kataku buru-buru padanya. Dan ia menatapku dengan sedikit mengerlingkan mata ke arah dalam rumah. Ya! Akupun masuk sesuai perintahnya. Tapi, bukankah dengan sekejap Bulan akan membakar rumah ini seperti dia membakar rumahku tadi?
            Bodohnya aku. Sementara nyawa Bapak ini juga akan terancam. Tapi tunggu! Kenapa Bapak ini dengan mudahnya menyuruhku masuk. Padahal ia belum mengenalku betul. Aku menatapnya seraya mengerenyitkan kening. Tapi yang tampak olehku ia justru ke dapur seperti sedang sibuk mengambil secangkir teh. Tak lama ia kembali dan aku masih terus berdiri dengan tak percaya.
            “Duduklah dan minumlah teh bersamaku,” katanya dengan wajah santai dan tersenyum lembut.
           Aku tak mengerti. Tak ada tanda-tanda serangan ke rumah ini. Bukankah tadi Bulan telah menjangkau keberadaanku dan seharusnya kami sudah terbakar di dalam sini. Atau setidaknya ia membuat semacam ancaman di luar sana dengan membakar beberapa bunga di halaman. Ya... itupun kalau Bulan agaknya segan membakar rumah orang yang tak bersalah ini.
            “Oke. Kau katakan tadi kalau diluar ada Bulan yang menyambarmu. Ya kan?” Ia mencondongkan sedikit tubuhnya ke arahku sambil terus duduk dan menikmati teh di tangannya. Sementara aku yang duduk berjarak setengah meter di depannya masih terus mengetes pikiran-pikiran positif. Setidaknya aku harus tahu mengapa bapak yang usianya kira-kira lima puluh tahun ini terlihat santai. Usia yang terpaut dua puluh tahun di atasku. Memang wajar bila ia terlihat lebih berwibawa di depanku.
           ”Saya masih tak mengerti kenapa Bapak tidak merasa takut. Kenapa pula Bapak seakan tahu kegelisahan saya?”
           ”Itu tidak sulit. Aku sudah pernah mengalaminya,” katanya sambil meletakkan teh itu ke atas meja. Dan sekarang ia menyilangkan kakinya. Benar-benar terlihat lebih santai kali ini.
           ”Ayo... minumlah dulu!” katanya sambil mengerlingkan mata ke arah secangkir teh yang masih penuh di sebelah teh miliknya. Tanpa ragu aku langsung menyeruput teh itu. Hangat dan manis.
           ”Begini, saya tinggal di kompleks ini juga,” kataku memulai pembicaraan sembari usai meletakkan teh kembali ke atas meja.
          ”Ya... aku tahu. Hmmm... aku tahu semua tentangmu. Hanya mungkin selama ini kau yang tidak mengetahui tentang aku,” katanya menyakinkanku.
           ”Maksud Bapak?” Tanyaku kembali dengan tanda tanya besar di wajahku yang mulai mencair dari kondisi menegangkan tadi.
           ”Aku tahu kau menyukai Bulan, iya kan? Dan ya... dahulu akupun menyukai Bulan. Bahkan aku memujanya dengan segudang pujaan. Wajahnya cerah, dagunya runcing, matanya begitu berbinar. Membuatku tak mampu berpaling darinya,” katanya seraya menatap lurus di sebelahku. Seperti sedang melewati lorong-lorong. Ia jauh, begitu jauh membawa pikirannya.
           ”Jangan heran. Kau laki-laki normal. Jadi wajar menyukai Bulan,” katanya kembali melihat ke arahku dengan senyum lembut.
           ”Jadi bagaimana? Aku harus membuat ia pergi dari kehidupanku!”
           ”Itu gampang,” katanya padaku dan sepertinya kali ini ia ingin lebih menyakinkanku. Seakan sejak tadi ia tahu dari mana akan memulai dan sampai kapan akan mengakhiri.
           ”Bagaimana?”
           ”Berpuasalah...”
           ”Maksudmu?”
           ”Ya... kau harus menimpai kegiatan-kegiatanmu di siang hari dengan terus berpuasa,” katanya padaku dan aku masih tak mengerti.
           ”Bulan itu akan berhenti bila kau berpuasa,” katanya lagi lalu melanjutkan, ”Aku pernah berbuat seperti yang kau buat. Kau tinggal meminta maap pada istrimu dan anak-anakmu. Kau jauhi kegiatan berbohongmu dan kau tinggalkan fitnah serta pergi mencarinya, Bulan. Tetaplah dijalan-Nya,” katanya sambil tersenyum lagi dan kali ini lebih lembut.
          ”Itu saja?” kataku membalasnya dengan masih terperangah sembari mengerenyitkan kening.
          ”Ya! Semua itu,” katanya.
                                                                                     ***
          Puasa membawa batinku benar-benar lahir dengan kesucian yang berlimpah. Maka aku tak pernah menatap bulan lagi di malam hari sembari berharap. Bulan yang kukenal di sebuah simpang empat dan menumpangiku setiap malam akan sirna. Pergi meninggalkanku dengan istri dan anak-anakku.

Serambi KOMPAK, 24-27 Juli 2011
Seputar Indonesia, 7 Agustus 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Beri komentar yang Membangun

Sayum Sabah in Write n Fun

Sayum Sabah in Write n Fun
KOMPAK is The Best

Incar...

Incar...
Medan Bisnis, B'Gaul

Karya sekaligus Cerpen pertama yang keluar di koran

Karya sekaligus Cerpen pertama yang keluar di koran
Medan Bisnis, B'Gaul

Holiday in Fun Tri

Holiday in Fun Tri
Riahhhh" n FREN"